(Warning : Siap-siapkan mata. Bab ini cukup panjang)
Happy reading ^^
****
Keesokan paginya, langit mendung dan hujan turun. Aku selalu suka suasana ketika hujan turun di pagi hari. Lebih adem dan tenang.
Orang-orang yang biasanya berkejaran dengan waktu, memulai paginya lebih lambat karena pikirnya, 'mungkin sebentar lagi hujan berhenti'. Orang-orang itu tidak mengerti rasanya menyusuri jalanan dengan bunyi gemericik hujan yang pecah di tanah. Atau, harum hujan bercampur bau tanah basah yang menyegarkan dan sentimental. Berlaku hanya bila perutmu tidak kosong, selebihnya yang kamu rasakan mungkin mual.
Kututup payung punya Kak Nara-kucuri di rak payung-ketika naik angkot. Belum ada penumpang, mungkin karena hari hujan. Supir angkot menyuruhku menunggunya pergi membeli kopi. Aku mengambil tempat duduk di sudut mobil.
Itu tempat terbaik mengamati rintik air turun mengetuk-ngetuk kaca jendela. Kusumbat telinga dengan ear phone dan memutar bitterlove milik Ardhito Pramono.
Orang-orang bilang, hujan turun adalah pertanda bahwa ada yang diam-diam mengingat dan merindukanmu. Aku bukan orang percaya takhayul atau pertanda semacam itu, tapi memang lebih mudah mengingat satu momen di kala sendirian dan tidak butuh telinga untuk dipuaskan bicara. Tanpa perlu berusaha, kenangan muncul. Kenangan yang ingin kamu ingat maupun yang ingin kamu lupakan.
Tiap melihat hujan, aku mengingat hari ketika Dirga mencegahku kabur dari rumah.
Seseorang naik ke mobil dan duduk di sampingku bersamaan debuman pintu pak supir, dia menyeruput kopinya dan berteriak, "Kita jalan!"
Bunyi gemeretak dari mesin tua yang dijalankan berbunyi dan mobil bergerak. Lagu bitterlove sudah selesai. Kulirik jam tangan. Waktu masuk masih lama.
"Lagi diburu apa?"
Jantungku hampir melompat ke luar mendengar suara bariton tepat di sebelah telingaku. Manik mata hitam berbingkai kacamata bulat melirikku penuh selidik, tanpa prasangka. Hanya keheranan.
Aku memelototinya. "Ngapain kamu di sini?"
"Kayak kamu dan semua orang. Pergi sekolah," katanya, dengan sebelah alis terangkat.
"Bukan itu maksudku. Kenapa kamu naik angkot ke sekolah?" Di jam ini?
"Motorku mogok. Lagi diservis di bengkel, mungkin bentar sudah beres," jawabnya. "Kenapa sih, kaget banget liatin orang? Kamu lagi dikejar siapa? Polisi?"
Kamu. "Kalau aku buron, perginya juga nggak naik angkot kali."
Dirga melepaskan ransel dan memangkunya, sambil tersenyum kecil. "Tumben, kamu berangkat lebih pagi. Biasa kamu nungguin aku atau Maya pergi ke sekolah supaya bisa numpang." Dia mengambil jeda, menatap lurus ke depan sebelum bicara, "Kayak lagi menghindari seseorang."
Diserang mendadak seperti itu membuatku tidak siap. Kutolehkan kepala, menatap lantai angkot. Menatapnya lama dan bicara butuh usaha besar.
"Iya. Orangnya Maya. Kami berantem kecil kemarin," bohongku.
Entah kenapa Dirga tampak lega. "Baguslah. Kalian harus sesekali berantem kecil. Jangan keterusan mengikuti maunya Maya, nanti kamunya capek."
Aku menatap Dirga. Kembali berprasangka pada keanehannya pagi ini dan kegeeranku. Apa dia berpikir aku menghindarinya? Karena itu dia sengaja datang lebih pagi dan naik angkot untuk ketemu sama aku? Dia juga tahu aku membaca pesannya kemarin, tapi kenapa dia tidak bertanya?
KAMU SEDANG MEMBACA
This is Not A Good Love Story [COMPLETED]
Teen Fiction🌸 Wattys Winner 2021 kategori "Young Adult" 🌸 Cerita pilihan @WattpadYoungAdultID Juni 2022 Dalam kisah Romeo dan Juliet, kita diajarkan bahwa cinta butuh pengorbanan. Dalam kisah The Notebook, cinta diibaratkan sebuah rumah, walau berkali-kali me...