"Ma! Dirga bawa piring kotor, mau Nara taruh di mana?" seru Kak Nara di bawah.
Untuk suatu alasan penting, kuhiraukan ketidakcocokkan suara rendah cewek dalam konteks kalimat yang agak kekanakkan, milik Kak Nara. Karena satu alasan ini mengapa gema suara naik dari ubin lantai dapat menghapus kabut-kabut nelangsa yang ke luar dari tubuhku, membuatku tersentak bangkit dan lari ke bawah.
Pada saat aku mengintip lewat dinding pembatas yang menyambung pintu ke luar dan ruang tamu, jantungku berdenyut keras. Itu benar-benar Dirga.
Dia berdiri di depan Kak Nara, sedang menyerahkan tumpukan piring kotor, kutebak mama memberikan dia dan papanya makan malam. Mama selalu memasak lebih jadi dia suka membagi-bagikannya ke tetangga.
"Jangan taruh di meja depan. Bawakan ke dapur, mama lagi cuci piring! Halo, Firda! Gimana keadaan Mbak di rumah sakit? Dia jadi dioperasi lusa?" seru mama, suaranya merembes keluar dari dinding dapur sebelahku.
Tumpukan piring Kak Nara goyang ketika ia terkejut melihatku berdiri di anak tangga terakhir. Ia berdecak, melotot tajam padaku sebelum berjalan melewatiku sambil sebisa mungkin menyeimbangkan piring di tangannya. Lalu, suara pintu depan dibuka terdengar. Berderit, berayun. Dirga sudah keluar rumah, aku harus segera mengejarnya.
"Dir!"
Dirga turun dari teras depan, keningnya berkerut ketika melihatku berlari mengejarnya. Kutelan ludah gugup dan menutup pintu di belakang, supaya tidak ada yang menguping.
"Nola." Ia mengamati penampilanku sejenak, kaos oblong dan cardigan juga celana training bulukku yang mengerikan. "Sendalmu beda warna."
"Ini tren," jawabku asal.
Sebelah kakiku kusembunyikan ke belakang dengan camggung dan mengeratkan cardigan. Harusnya aku menata tampilanku dulu sebelum keluar. Kusisir rambutku yang kusut bekas cepolan, sebagai usaha terakhir untuk terlihat pantas.
"Mau bicara apa?" tanya Dirga.
"Oh iya, itu. Hmm ...." Karena terlalu senang melihatnya, aku datang tanpa persiapan. Pikirkan satu topik menarik, Nola. Basa basi sesuatu.
"Dikasih mama opor ayam?" Aku menunjuk tumpukan piring khayalan yang tadi ada di tangan Dirga. Good work, Nola. Basa-basi barusan sangat hoammm.
"Nggak. Piring kemarin. Hari ini pemilik rumah bawa pulang pizza. Katanya buat merayakan dia dipromosikan."
"OM TARA DIPROMOSIKAN?!"
Dirga menutup sebelah kupingnya, terganggu. "Kagetnya nggak sampai teriak kali. Memangnya se-wow itu papaku naik jabatan?"
Aku merendahkan adrenalinku, menenangkan hati, emosiku lagi tidak stabil.
"Nggak, cocok banget malah. Itu kabar baik banget! Congrats!" Aku menepuk bahunya riang. "Nggak sabar bilang kabar ini ke papaku."
"Ini masih kemungkinan." Dirga memberitahu. "Belum ada keputusan dari direksi, tapi dari tiga kandidat yang dibocorkan jadi kepala cabang, katanya kemungkinan papaku lebih tinggi." Dirga memutar matanya jenaka. "Yah, kalau itu membuatnya nggak sering di rumah buatku sih, kabar baik banget."
Aku memicingkan mata saat dia meniru nada ucapan 'kabar baik banget'-ku. Reaksi yang kukira dia inginkan karena dia menyengir lebar, setengah kuinginkan sekarang agar membuat percakapan kami tetap nyaman. Dia pasti sedih papanya akan lebih sibuk kalau naik jabatan.
Selanjutnya, Dirga tidak bicara apa-apa, aku pun mengikutinya, dengan kikuk. Mengamati pemandangan halaman yang hari itu rumputnya tampak lebih segar dan menarik dilihat daripada masuk dalam rumah. Desingan angin mewakili kami bicara. Malam itu tidak terlalu dingin atau panas untuk memakai cardigan, sejuk, persis seperti cuaca peralihan sebelum musim hujan datang bulan depan.
KAMU SEDANG MEMBACA
This is Not A Good Love Story [COMPLETED]
Teen Fiction🌸 Wattys Winner 2021 kategori "Young Adult" 🌸 Cerita pilihan @WattpadYoungAdultID Juni 2022 Dalam kisah Romeo dan Juliet, kita diajarkan bahwa cinta butuh pengorbanan. Dalam kisah The Notebook, cinta diibaratkan sebuah rumah, walau berkali-kali me...