"Lalu siapa yang kamu sukai?"
Gema suara desakan wanita menghentikan kakiku memijak anak tangga kedua menuju lantai tiga. Dari sudutku, aku bisa melihat pemiliknya sedang bercakap dengan seorang pria di depan pintu beranda.
Sama sekali kedatanganku bukan untuk menguping, Dirga mengajakku makan di beranda lantai tiga karena di sana sepi. Area lantai tiga hanya diisi aula indoor dan letaknya beda gedung dengan kantin. Meski harus jalan agak jauh dari kelasku dan melewati lorong anak kelas dua belas-aku selalu gugup lewat depan kelas senior apalagi kalau mereka bercokol di lantai koridor, aku menyanggupinya karena tidak mau berdesakan dengan singa-singa kelaparan di kantin. Dirga juga menawarkan diri membelikan makanan, jadi aku tinggal datang dan menyiapkan perut.
Aku bersembunyi di belakang pegangan tangga, walau badanku terlalu besar untuk disembunyikan besi sebesar batang pipa. Akan sangat canggung mendapati seseorang sedang menguping pernyataan cintamu. Lebih memalukan lagi, kalau kamu kedapatan ditolak. Dan, malangnya, kedua hal itu sedang dialami wanita ini.
Jengah tak dihiraukan, si wanita kembali bicara dengan nada menuduh, "Kalau orang itu beneran ada, harusnya kamu bisa bilang namanya."
Wajah pria jangkung itu tidak tampak dari sudutku, terhalang pucuk kepala si wanita. Tapi, entah kenapa figurnya tidak asing.
"Kenapa kamu pikir aku mau memberitahumu?" katanya tajam. "Menyebut nama orang yang kusukai sama saja melanggar privasiku dan orang itu. Kita nggak sedang negosiasi, mengertilah posisimu. Kamu sudah ditolak."
Tamparan mendarat di pipi pria itu, tanpa aba-aba. Itu membuatku bergidik. Si wanita turun dengan muka geram. Sepatunya menghentak-hentak keras menuruni tangga, seperti ingin mengumandangkan pada dunia, teristimewa pada pria yang menolaknya, kalau ia benar-benar murka. Harga dirinya baru saja tercoreng, tersayat bersama hati dan harapnya.
Segera kurapatkan diri ke pegangan tangga, tak mau mendapat serangan membabi buta karena ketahuan menguping. Ketika hentak-hentakkan kaki berlalu di belakangku dan menghilang saat menginjak dasar tangga, kulirik pria di lantai atas. Pria itu sudah pergi.
Merasa situasi sudah aman, aku menaiki tangga.
Angin kencang membelai depan wajahku ketika masuk ke beranda. Tatanan rambutku rusak, terbang ke belakang karena angin. Kalau dilihat dari depan mungkin mukaku tak ada bedanya sama telur.
Aku tidak menemukan pria brengsek tadi dimana-mana. Hanya Dirga yang memunggungiku, sedang bersandar di dinding pembatas. Matanya memandang ke luar gedung yang dihujani sinar matahari.
"Tok, tok, tok." Kuketukkan buku-buku jari di dinding sampingnya. Ia menoleh. "Apa benar tempat ini menyediakan makan siang gratis?"
Sudut bibirnya tertarik. "Lama amat. Ayam geprekku sudah hampir dingin."
Aku menyengir, lalu duduk di lantai sambil mengeluarkan isi plastik bening yang dibawa Dirga. Nasi ayam geprek. Sudah lama sekali aku mengindamkannya. Tiap kali mau membeli ini di kantin selalu saja kehabisan. Penggemar ayam geprek memang banyak.
Aroma cabai pedas bercampur bawang menguar ketika aku membuka tutupnya. Nasinya masih hangat. Sedap sekali. Cacing-cacing perutku makin berteriak minta diisi.
"Kamu bawa discman?" Dirga mengeluarkan benda bentuk bulat dengan tali earphone melilit menancap di belakangnya, dari dalam tas bekalku. Aku membawa tas untuk mengisi tisu, botol air, tusuk gigi, dan discman. Kalau soal makan, usahaku harus seratus persen.
"Iya. Ada satu adegan di film yang kutonton, mereka makan di atap sambil dengar lagu. Kebetulan cuaca cerah, jadi aku mau mencobanya."
"Kamu punya banyak sekali keinginan," katanya, ketus lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
This is Not A Good Love Story [COMPLETED]
Novela Juvenil🌸 Wattys Winner 2021 kategori "Young Adult" 🌸 Cerita pilihan @WattpadYoungAdultID Juni 2022 Dalam kisah Romeo dan Juliet, kita diajarkan bahwa cinta butuh pengorbanan. Dalam kisah The Notebook, cinta diibaratkan sebuah rumah, walau berkali-kali me...