Malam sudah mulai larut ketika kami selesai makan. Dirga menyuruhku menyimpan piring-piring makan bekas kami dan pulang saja, tapi aku tidak mau. Di mana hati nurani kami sebagai tamu tidak diundang, membiarkan orang sakit mencuci piring dan merapikan meja?
Jadi, pukul setengah sembilan malam, aku berniat pamit pulang pada Dirga di kamar. Karena panasnya sudah turun, bajunya basah karena keringat, jadi aku menyuruhnya berbersih dulu sebelum tidur supaya tidak masuk angin lagi.
Sebenarnya, aku agak canggung untuk masuk ke kamar cowok sendiri, walau ini memang bukan kali pertamaku. Aku ingin mengajak Maya pamitan, tapi kondisi Maya sedang tidak bisa dan tidak ingin kuganggu.
"Kita tutup sama-sama, ya." Dengarku, mengintip dari pintu beranda. Maya berdiri memunggungiku bersandar pada pinggir beranda, ponsel ditelungkupkan di kupingnya. Sudah sejak dua puluh menit lalu dia telponan dengan pacarnya. "Satu, dua, tiga! Ihhhhh. Kok nggak ditutup?" pekiknya dengan suara gemas-manja dibuat-buat.
Seketika, tulang-tulangku ngilu dan merasa ingin muntah. Kekuatan cinta sepertinya punya efek hebat pada indra manusia, sampai bisa mengubah suara Pikachu sedang sembelit menjadi suara seimut anak bayi yang manis (hanya berlaku di telinga si pacar).
"Dir," panggilku.
Ketukan buku-buku jari pada pintu keropos menggema di dalam. Tidak ada jawaban. Kuketuk sekali lagi dan menunggu lebih lama. Masih tidak ada jawaban.
Apa dia sudah tidur? Tapi, cepat sekali. Obatnya yang kusediakan di meja depan juga belum diminum. Apa mungkin ..., dia pingsan?
Pikiran mencemaskan berkelebat di benakku, lantas kucengkram kenop pintu dan memutarnya.
"Dir?"
Bunyi derit pintu terdengar, bersamaan kupendarkan mata ke sekeliling ruangan lekat-lekat. Tidak ada siapa pun di sana. Sengat kejutku pudar ketika melihat lampu kamar mandi menyala dan suara air mengucur terdengar. Rupanya, dia sedang mandi.
Kutarik kenop pintu menutup. Berhenti, ketika sudut mataku menangkap pigura yang tak asing.
Di meja pendek, di samping kasur Dirga, terpajang foto kami. Aku, Maya, dan Dirga dalam versi kami yang lebih kecil. Itu malam perayaan penyambutan kepindahan keluarganya Dirga. Aku ingat, di malam itu Maya mengenalkan cowok yang kutemani menangis di depan rumahnya sebagai kakak sepupunya. Waktu kusalami, muka Dirga semerah tomat karena malu. Kurasa, baik aku dan dia tidak menyangka kami akan bertemu begitu cepat.
Orang tua kami yang tidak paham situasi, menganggap itu momen yang tepat untuk diabadikan sebagai awal dari pertemanan anak-anak mereka. Dia menyuruh kami berfoto di bawah pohon bugenvil. Maya bergaya di tengah-tengah memeluk kami berdua-berpose jari peace, sedang aku dan Dirga memasang muka kecut.
Aku terkekeh, menyentuh pipi gembul milik Dirga di foto. Dia terlihat seperti hamster garang, sorot mata tajamnya masih sama. Aku penasaran ke mana lemak pipi menggemaskan itu pergi. Kuturunkan foto, melihat pigura lebih kecil tersembunyi di balik lampu meja.
Foto seorang wanita sekitar umur tiga puluhan, sedang menggendong anak balitanya. Sang ibu yang sadar kamera, tersenyum lebar, sedang anaknya mencoba meraih hiasan bola warna merah digantung di pohon natal.
Aku tahu pasti wanita itu siapa. Dari bentuk mata, hidung, dan bentuk mukanya yang lebih lembut dari punya Dirga. Derilla Subagio Wahyu. Mamanya Dirga.
Hidup di rumah berlantai dua bergaya minimalis monokrom ini, dengan fasilitas lengkap, berdua dengan papanya yang sibuk kerja, pastilah sangat bebas. Rumahku terlalu ramai untuk bisa paham rasanya menjadi Dirga, tapi ketika melihat ruang tamu yang terlalu rapi buat tempat tinggal, kulkas dengan bahan makanan minim, dan lebih banyak lukisan abstrak daripada foto keluarga. Aku tahu pasti hidupnya tidak nyaman. Dirga pasti sangat kesepian.
KAMU SEDANG MEMBACA
This is Not A Good Love Story [COMPLETED]
Teen Fiction🌸 Wattys Winner 2021 kategori "Young Adult" 🌸 Cerita pilihan @WattpadYoungAdultID Juni 2022 Dalam kisah Romeo dan Juliet, kita diajarkan bahwa cinta butuh pengorbanan. Dalam kisah The Notebook, cinta diibaratkan sebuah rumah, walau berkali-kali me...