24. Egg-Shout

2K 547 9
                                    

Maya memarkirkan mobilnya di seberang rumah megah Rangga. Sudah jadi rahasia umum keluarga Rangga kaya raya. Ayahnya adalah pengusaha tambang dan kabarnya memiliki kapal pesiar. Kalau portfolio hidup dapat dinilai, mungkin punya Rangga mendapat rangking atas dan dicap mendekati sempurna. Betul, hampir sempurna kalau saja dia tidak brengsek. Aku bingung kenapa orang-orang brengsek punya kehidupan mujur.

"Itu dia." Maya menunjuk kaca samping kursi penumpang.

Di depan rumah, Dirga turun dari motor vespa hitamnya yang diparkir di pinggir jalan. Ia tidak membawa apa-apa selain dirinya, dan amarah yang ia genggam dalam kepalan tangan. Ia berjalan tegas menuju rumah Rangga yang dilindungi dinding batu alam templek, yang kedua sisinya putus di tengah, pada ruang antaranya terpancang pagar putih. Mobil SUV hitam milik Rangga parkir di depan pagar.

Maya buru-buru turun. Aku segera mengikutinya, kalau saja tidak terjebak tali sabuk pengaman dan tombol holder-nya macet. Kuambil rak telur di bawah kursi, lalu turun.

Saat menapaki tanah, lututku langsung lemas. Rasa mual kembali menggerayangi perutku. Maya benar-benar membuktikan dirinya sebagai pemain mobil balap arcade, dia berkali-kali hampir menabrak trotoar dan belasan kali mati mesin. Rasanya seperti penderitaan sepuluh tahun ke depan dimuntahkan semuanya dalam waktu tujuh menit ke tengah kota. Mentalku menua sepuluh tahun.

"Hei!" teriaknya pada Dirga. Maya menahan lengan Dirga, memaksa cowok berbalik. "Kamu mau ngapain di sini? Mau menerobos paksa rumah orang? Mau menghajar anak orang saat orang tuanya ada di rumah?"

"Rencananya, aku mau kamu memanggil Rangga turun." Dia menggoyangkan ponsel Maya di tangannya. "Tapi idemu menerobos paksa juga bagus. Aku memang nggak ada rencana membangun impresi ramah."

Maya menarik bahu Dirga kembali menghadapnya ketika cowok itu hendak berbalik.

"Jangan bertindak gila."

Jempol Dirga menunjuk rumah di belakangnya. "Orang gila itu, dia yang memutuskan hubungan karena nggak bisa seks dengan pacarnya dan menyalahkan semua kesalahannya pada si cewek." Lalu, mengedikkan dagunya pada Maya. "Sedangkan, orang bodoh menerima semua kesalahan cowoknya dan menyalahkan dirinya sendiri. Apa aku marah sekarang, terdengar cukup waras?"

Aku masuk di tengah-tengah, menempelkan jari telunjuk di bibirku menyuruh mereka menurunkan suaranya. Lalu melirik kiri-kanan memastikan tidak ada penonton tidak diundang melihat kami. Atau, satpam kompleks yang sedang patroli.

"Ini masalahku, bukan masalahmu," tekan Maya.

"Kamu menceritakannya sama aku, ini jadi masalahku juga."

"Owh! Kalau begitu maaf, kamu sudah mendengarnya!" bentaknya, tidak sungguh-sungguh menyesal. "Aku cuma berharap perasaanku lebih baik kalau didengar, aku sama sekali nggak sangka reaksimu akan sebegini berlebihan."

"Paling nggak, aku nggak terus-terusan menangis di kamar karena masalah cinta."

Mata Maya berkilat-kilat layaknya serigala. Aku menyambarnya sebelum ia bicara, "Aku pikir," kedua kepala mereka menatapku tajam waktu aku angkat bicara, "Rangga akan keluar kalau kita bertengkar di depan rumahnya."

Rumah Rangga membisu di depan kami dengan sangat bersahaja. Pintu rumah dan jendelanya tertutup rapat. Tidak ada satu pun kendaraan lewat, atau orang berjalan, mungkin karena malam. Hanya kami titik keributan di sini, kesunyian ini agak mempermalukan kami.

Dirga terduduk di rumput, bahunya melorot ketika ia melepas napas panjang. Kedua tangannya melingkari tengkuknya dan kepalanya tertunduk. Maya menyandarkan badannya di mobil, kepalanya mendongak, ikut mengembuskan napas dan kekesalannya ke udara di atasnya.

This is Not A Good Love Story [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang