Alarm pagi yang kusetel di ponsel tidak berbunyi. Karena ketiduran tadi malam, aku lupa mengecas ponsel. Ponselku mati. Akibatnya, pagi ini, aku ke luar dari rumah telat tujuh menit dengan kuping panas, hasil omelan Kak Nara karena aku tidak berhenti mengetuk pintu kamar mandi saat dia lagi mandi. "Kamu nggak kenal apa kata sabar? Mau kuajari hukuman orang-orang yang nggak tahu sabar?" sembur Kak Nara, sebelum memukuliku lagi dengan gayung bentuk hati.
Ketika aku membuka pintu pagar, sosok tak terduga berdiri di depan rumah. Dia sedang memanaskan motornya. Deru motor berisik dan asap knalpot samar ke luar tiap dia memutar gas.
"Lama amat," gerutunya, lalu menendang stand motor.
Aku menghampirinya dengan kebingungan. "Kamu ... belum pergi?"
"Mmhm. Telat bangun," gumamnya sambil lalu. Dia membuka jok motor dan melempar helm padaku. "Cepat naik. Ntar kita telat."
Otakku yang dipaksa bekerja di tengah kantuk, mulai merangkai alasan demi alasan kenapa pria ini telat. Dia selalu pergi pukul enam empat puluh, sangat konsisten sejauh yang kupelajari. Kecuali kalau, "Maya mana? Hari ini dia nggak numpang sama kamu?" tanyaku.
"Dia diantar pacarnya."
"Dengan mobil SUV-nya? Wahhh. Punya pacar senior kelas tiga emang beda."
Dirga naik ke atas motor, dahinya berkerut. "Kenapa cewek-cewek suka sekali sama cowok-cowok bermobil, sih? Paling belinya pakai uang orang tua dia juga."
"Nggak suka-sekali. Cowok-cowok kayak gitu kelihatan matang aja. Makin kesesem kalau cowoknya secakep Kak Rangga." Aku tersenyum pada khayalan salah satu cowok di novel yang kubaca, ketika Dirga mendadak mengambil helm di pelukanku dan memasangkannya ke kepalaku.
Itu membuatku terkejut. Aku melototinya protes dari kaca helm.
"Kita hampir telat. Cepat naik," titah Dirga.
Aku naik motor sambil ngedumel dalam hati. Baru pagi-pagi, telingaku sudah panas diomeli dua orang. Ingatkan lagi alasan kenapa tadi malam aku giat sekali stalking media sosial cowok ini sampai begadang untuk mencari tahu siapa cewek yang ia sukai. Siapa pun itu, dia akan dibaweli Dirga tiap hari.
Kupeluk perutnya untuk berpegangan, tapi baru sedetik ia mendadak melepasnya. Ia menolehkan kepalanya sedikit dan mengeluh, "Sesak. Jangan terlalu erat."
Aku mendengkus dan mengulangi perbuatannya yang sama, kini mengurangi tenagaku memeluknya. Tapi, dia melepasnya lagi.
"Kamu nggak kedinginan nggak pakai jaket di motor?" tanyanya lagi.
"Deket kok. Kalau turun ambil lagi, ntar kita telat." Aku memerhatikan Dirga yang terdiam, seperti sedang memikirkan sesuatu, lantas menghardiknya. "Udah ah, buru. Sudah hampir jam tujuh."
Baru saja aku ingin mengencangkan pegangan, Dirga berbalik lagi. "Pulang bentar bareng, ya. Kalau Clara minta tolong kamu yang aneh-aneh lagi, tolak. Oke?"
Biasanya dia mengomel, malas tunggu-tunggu-an pulang, tapi sekarang dia menawariku tumpangan? Apa dia sebegitu mengkhawatirkanku temanan sama Clara? Kenapa dia jadi sangat perhatian?
"Oke. Tapi, pulangnya kamu harus traktir aku telur gulung dan cireng," cetusku. Walau aku tidak melihatnya, aku tahu itu membuat Dirga tersenyum.
"Pegangan erat-erat. Kita ngebut."
Sebelum sempat mengikuti instruksinya, motornya telah lebih dulu dijalankan. Aku tersentak, terdorong gravitasi ke depan dan tanganku langsung melingkari perutnya. Angin kencang menampar kulitku dan yang dapat kudengar hanya suara desingan motor. Klakson panjang berbunyi waktu Dirga menyela masuk mobil yang berjalan lurus di sisi kanan kami.
KAMU SEDANG MEMBACA
This is Not A Good Love Story [COMPLETED]
Teen Fiction🌸 Wattys Winner 2021 kategori "Young Adult" 🌸 Cerita pilihan @WattpadYoungAdultID Juni 2022 Dalam kisah Romeo dan Juliet, kita diajarkan bahwa cinta butuh pengorbanan. Dalam kisah The Notebook, cinta diibaratkan sebuah rumah, walau berkali-kali me...