19. Unexpected Guest

2.2K 564 22
                                    

"Apa aku boleh pergi?"

Suara cuitan Si Buyung-burung kesayangan papa, yang berada dalam sangkarnya, mengisi keheningan yang tercipta antara aku dan Dirga. Kalau seandainya burung bisa bicara, mungkin ia sedang memarahi kami telah menganggu tidurnya, diam-diaman tidak jelas di serambi ketika hari telah menuju tengah malam.

Aku membiarkannya. Terlalu berdebar, gugup, dan masih tidak percaya. Aku benar-benar tidak percaya sudah mengatakan kalimat itu pada Dirga dengan mulutku sendiri.

Dirga mengakhiri waktu termenungnya, tetap pada jarak setapak tangan.

"Nggak," katanya, begitu pelan namun berdengung jelas di telingaku.

Hormon dopaminku lepas beribu-ribu kali lipat, mengalir ke seluruh tubuhku dengan meluap-luap, hingga aku tidak dapat menahannya dan ingin bersorak. Tentu terlalu memalukan dilakukan di depan Dirga, jadi aku menahan semuanya dalam satu helaan napas. Jantungku berdebar tak karuan, seperti ada pemain genderang ingin berperang di dalam.

Apa itu berarti dia melarangku pergi kencan karena dia cemburu? Itu berarti dia ...? Apa dia ...?

"Itu jawabanku kalau kamu ragu pergi sama dia," lanjutnya.

Napas yang kutahan lepas begitu saja, bersama harap dan sorak gembira. Aku seperti habis diangkat tinggi-tinggi lalu dibuang terjerembab ke dasar tanah berlumpur.

Astaga, kirain tadi .... Ughhhh.

"Kalau aku nggak ragu?" tanyaku, kini terdengar seperti permohonan. Larang aku. Larang aku.

Dirga mengedikkan bahu. "Ya pergi saja. Pergi kencan nggak berarti ultimatum kalau kamu akan pacaran, kan?"

Aku menahan diri untuk tidak tampak terluka. Meski, susah.

"Kamu segitu nggak pedulinya?"

"Aku peduli, kalau kamu terpaksa pergi." Dirga menyipit. "Dia nggak mendesakmu, kan?"

"Nggak!" Aku membentak, emosiku mulai naik. "Kenapa kamu selalu saja mandang Mark jahat? Apa aku selalu kelihatan seperti korban tak berdaya?"

Dirga mengatupkan mulutnya rapat-rapat, tapi matanya mengatakan semuanya. Aku melepas napas tidak percaya, melihatnya atas-bawah seperti menuduhnya pengkhianat. Dia benar-benar berpikir begitu tentangku.

"Kamu nggak bisa mengenal kepribadian orang dalam waktu singkat," katanya, sebagai bentuk perlawanan tuduhanku. "Bisa jadi kulit luarnya oke, tapi dalamnya busuk."

"Mark nggak mempermainkanku," tekanku penuh percaya diri, walau ketika mengatakannya aku pun masih ragu. Mark tampak tulus.

"Itu yang kelihatannya." Dirga bersedekap, dia melihat ke tempat lain. "Aku juga nggak mau mengangkat kasus ini lagi, tapi penilaianmu yang terakhir soal orang baik sangat-sangat salah. Kamu bilang Clara baik, tapi dia malah menindasmu." Dia mengangkat sebelah bahunya. "Jadi, aku ragu."

Kugigit bibir bawahku, menahan diri untuk bereaksi. Perasaanku sekarang terbelah dua, antara ingin mengubek-ubek wajah tampannya saking kesal dan gemas, atau berteriak keras-keras, "bisa kamu berhenti menganalisa semuanya dan menahanku pergi kencan saja!"

"Kalau kamu nggak mau membicarakan masalahku dengan Clara, ya jangan dibicarakan," kataku defensif, tahu sekali aku mengambil jalur yang salah tapi aku terlanjur marah. "Jadi orang, picik sekali," decakku.

Kedua alisnya terangkat, matanya membulat tak percaya. "Picik?" ulangnya. "Harusnya aku nggak usah cemas sama kamu karena pergi sama cowok nggak jelas."

This is Not A Good Love Story [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang