Jam digital di dashboard menunjuk pukul 20:30 malam ketika mobil kami melintasi ruas-ruas kota yang sunyi.
Kusandarkan kepala pada kaca yang setengah terbuka, mengekspos bagian dahiku ke atas pada tiupan angin malam yang dingin. Anak-anak rambutku menari-nari mengikuti arah angin berembus.
Ada banyak yang harus kuhadapi setelah ini. Omelan mama, ada rencana balas dendam Maya pada Maria, Clara dan antek-anteknya-yang Maya percaya bertanggung jawab atas rumor yang tersebar, ada kuis kelas Bahasa Inggris, penentuan jurusan IPA/IPS, ujian akhir semester, dan kuliah, dan masa depan.
Namun, entah mengapa, seluruh anggota badanku ingin rileks selama perjalanan pulang. Di waktu ini aku ingin menikmati momen ini: pendar lampu oranye menghampar di sepanjang jalan, pohon-pohon berjajar berkelebat mundur di jendela, pekikan klakson pengemudi tak sabaran karena Maya berkendara di bawah kecepatan 20 km/jam, badanku yang diayun-ayun karenanya, lagu Wonderful World milik Sam Cooke di radio disetel dalam volume rendah, bau rokok tipis-tipis bercampur parfum wangi vanilla di seluruh mobil Ignis ini, dan udara kemenangan tercium ketika menarik napas bercampur partikel debu halus.
Seolah-olah aku berada dalam ruang dan waktu terpisah dengan dunia. Tidak ada masa depan yang perlu dikhawatirkan. Tidak ada bayang masa lalu yang mengikuti. Atau bahkan, khawatir lintasan jalan lurus di depan kami akan habis. Kami adalah bajak laut yang mengarungi lautan bebas untuk mengejar harta karun emas di pulau-pulau tak berpenghuni.
Selamanya tinggal dalam waktu ini, itu harapanku.
Namun, kata 'selamanya' berlaku dalam perjalanan ini, hanya berlangsung tujuh menit. Kami tiba di depan rumah Maya.
"Makasih buat hari ini," kata Maya kepadaku dan Dirga ketika kami turun dari mobil.
Garis-garis bekas air mata masih membasahi pipinya. Usai dia menonton hasil rekaman yang Dirga rekam diam-diam saat kami berhadapan dengan Rangga-videonya melibatkan banyak krasak-krusuk, kamera goyang, juga bisik-bisik warga tempat Dirga menyelip dalam kerumunan-Maya menunjuk Rangga yang merengek dipukul sendal oleh ibunya dan mencelanya, "Dia menangis seperti bayi." Ia cekikikan keras. Sebelum segaris air mata meluncur jatuh ke pipinya, tak terbendung.
Walau menyakitkan, perpisahan tetap tidaklah mudah.
Maya menghapus bekas-bekas air mata, dan untuk pertama kalinya dalam hari ini mengembangkan senyum tulus, "Kalian mengesalkan, jahat, dan berguna," pujinya.
"Itu padanan kata yang aneh," balas Dirga disambut kekehan kecil ceria dari Maya.
Dirga menyodorkan kunci mobil papanya Maya. Hari ini, Maya berhasil membuktikan dirinya sebagai pengemudi yang cukup 'aman' walau tidak berlisensi, kami bisa sampai dengan selamat di rumah, kecuali mobilnya yang mungkin mengidap trauma karena berkali-kali hampir menabrak dinding karena Maya tidak bisa parkir mobil. Kondisinya menjadi semakin tidak memungkinkan setelah Maya tersedu menonton videonya Rangga. Atau, tertawa. Dia melakukan keduanya.
Jadi, Dirga menggantikannya memarkir mobil. (yang adalah aneh, aku tidak tahu Dirga bisa mengemudi)
"Apa menurutmu Maya akan baik-baik saja?" tanyaku setelah mengantar Maya masuk rumah.
Aku jadi sedikit menyesal menolak tawaran Maya menginap di rumahnya. Dia pasti kesepian, tapi dengan aku berada di rumahnya, kami akan cerita sampai larut malam. Lalu, ketika aku tertidur di sampingnya, bagian otak yang terjaga memutar kenangan masa lalu, membuatnya semakin kepikiran dan tambah sedih. Tidur cepat dengan badan lelah, lebih baik.
Dirga menggantungkan helmnya di spion motor. Hendak memindahkannya dari halaman rumah Maya selepas mengantarku pulang. Kaki-kaki kami mengikuti jalan setapak menuju pagar.
KAMU SEDANG MEMBACA
This is Not A Good Love Story [COMPLETED]
Teen Fiction🌸 Wattys Winner 2021 kategori "Young Adult" 🌸 Cerita pilihan @WattpadYoungAdultID Juni 2022 Dalam kisah Romeo dan Juliet, kita diajarkan bahwa cinta butuh pengorbanan. Dalam kisah The Notebook, cinta diibaratkan sebuah rumah, walau berkali-kali me...