"Wulan benar-benar bodoh. Kusuruh menelepon kalian bilang aku baik-baik saja jadi tidak usah khawatir, dia malah mengirim sms kalau aku sudah meninggal?!"
Tante Farah menggeleng dan mencak-mencak, sembari menegakkan tubuhnya untuk duduk, namun agaknya kesusahan karena selang infus yang menancap di tangannya. Mama membantunya, menarik tuas di bawah kasur untuk menaikkan kepala kasur. Kemudian, memberinya sepiring apel untuk meredakan amarah, mata mama terus memastikan selang infusnya tidak mengeluarkan darah karena sang kakak terlalu banyak bergerak.
"Dia tidak bilang Mbak meninggal. Dia suruh kami jenguk Mbak karena kondisimu kritis," jawab mama.
"Sama saja!"
Tante Farah mendengkus, menusuk apel dengan garpu seakan sedang membayangkan wajah pembantunya yang berwajah baik dan dari daerah Timur itu, orang yang secara tidak sengaja memberitakan kabar hoax tentang dia 'masuk rumah sakit' dan sedang 'kritis' di grup keluarga. Dengan suntikan fakta bodong, fotonya terbaring di rumah sakit, dan lagi-lagi miskomunikasi, kabarnya berkembang menjadi Tante Farah berada di rumah sakit dan sudah meninggal, tersebar secepat penyakit menular yang tidak bisa dicegah, ke grup-grup keluarga lain.
Kakak kedua mama, Tante Firda dan suaminya masuk kamar. Dia yang mengabari keluargaku tentang kondisi Tante Farah-suara orang menangis di telepon ternyata darinya. Tante Firda duduk di kursi sebelah kasur pasien, sedang suaminya bergabung dengan papa duduk di sofa pendek dekat jendela. Melihat Wulan tidak masuk bersama mereka, pastilah wanita itu disuruh pulang untuk mengambilkan Tante Farah baju bersih, sekaligus mengusirnya secara halus karena majikannya sedang muak melihat wajahnya.
"Sudahlah, Mbak. Jangan salahkan Wulan." Tante Firda menenangkan. "Salah Mbak juga mendaki gunung sendirian. Untung, ada pendaki lain yang lihat Mbak pingsan dan membawa ke rumah sakit."
"Aku wis menek gunung dari orok." (Aku sudah mendaki gunung dari bayi)
"Nggeh, Mbak, tapi umur kan sudah tidak muda."
Mama mengusap pundak Tante Farah, membujuknya ketika melihat beliau masih berkeras hati, "Ingat jantungmu, Mbak. Ini bukan sekali dua kali Mbak kena serangan jantung karena kecapekan. Mungkin sudah waktunya pensiun dan lebih banyak istirahat."
Garis-garis kerut tampak makin tegas di wajahnya karena gusar. Watak kerasnya memang tidak pernah pudar. Kali ini, alasannya sangat jelas, dalam tubuh berumur enam puluh tahun lebih tersimpan jiwa wanita umur dua puluhan. Aku mengerti itu, tapi menurut orang dewasa ada yang lebih penting.
Papa yang sedari tadi diam mengamati semuanya, menyahut dari sofa, "Yang dibilang Febri betul, Mbak. Sudah waktunya lebih merawat diri. Yang kita punya pas kita tua kan cuma keluarga sama tubuh sehat."
Tante Farah berpindah mengamati papa dengan tatapan menuduh.
"Mbak bisa sering-sering datang ke rumah kami."
Mama diam-diam mengulas senyum tipis pada papa layaknya bicara makasih.
Agaknya perkataan papa masuk ke telinga Tante Farah, rahangnya yang dikencangkan mulai mengendur. Tanpa perlu dikumandangkan, Tante Farah memang paling mendengar ucapan adik iparnya itu.
Tante Farah berdeham segan. "Kulakukan karena ingin lebih sering ketemu Nara dan Nola." Lalu melempar tatap padaku dan Kak Nara yang bermain ponsel di samping papa. "Kenapa kalian membawa anak-anak manis ini ke rumah sakit malam-malam?" katanya, memelas. "Nara, kenapa kamu tambah kurus? Kamu diet?"
Nara bergeming berdiri di sampingku, hanya membalas Tante Farah dengan senyuman yang amat sangat manis. Sebenarnya itu arti lain dari berhentilah menanyaiku, silakan lanjutkan pembicaraan orang tua. Pembicaraan mereka berlanjut ke pandangan orang tua tentang diet.
KAMU SEDANG MEMBACA
This is Not A Good Love Story [COMPLETED]
Teen Fiction🌸 Wattys Winner 2021 kategori "Young Adult" 🌸 Cerita pilihan @WattpadYoungAdultID Juni 2022 Dalam kisah Romeo dan Juliet, kita diajarkan bahwa cinta butuh pengorbanan. Dalam kisah The Notebook, cinta diibaratkan sebuah rumah, walau berkali-kali me...