Liburan kenaikan kelas satu SMP tahun 2011 kuhabiskan di rumah, tanpa teman. Selama sepekan Maya berkunjung ke rumah neneknya di Surabaya. Jadi, rencana petualangan kami keliling kota Mojokerto dengan angkot, gagal. Akhirnya, aku menyibukkan diri dengan menonton TV. (Kala itu, Cinta Cenat-Cenut sedang hype dan karena liburan sekolah, tiap pagi channel TV menayangkan film Doraemon)
Seperti biasa, aku bangun pagi-pagi untuk menonton film Doraemon, ketika tidak sengaja dari jendela lantai dua kulihat dua mobil boks melintas dan berhenti di depan rumah seberang. Sejak ditinggal meninggal pemiliknya-Eyang Pandhu-tiga bulan lalu, kudengar rumah itu dilelang keluarganya karena tidak sanggup mengurus.
Eyang Pandhu adalah pria tua yang baik, suka anak-anak, dan senang bercerita kisah patriotnya semasa penjajahan dahulu. Dia akan mulai dengan, 'Zaman kalian enak. Dulu Eyang ...," lalu anak-anak akan berkumpul di depannya dan diam mendengarkan. Sekarang, bukti keberadaannya hampir menghilang. Sebelum itu benar-benar terjadi, aku harus berkunjung ke sana untuk terakhir kali.
Aku menaruh beberapa tangkai bunga asoka yang baru kupetik ke bawah pagar rumahnya. Lalu, berdoa kepada Tuhan memohon ketenangan beliau di atas sana.
"Siapa yang kamu doakan?"
Seseorang menyahut di belakangku saat aku selesai berdoa. Dia, anak cowok berambut cepak, tidak terlalu tinggi, dan suaranya cempreng. Roda koper hitam menghantam tanah di belakangnya sampai ia berhenti di depanku.
"Pemiliknya yang lama. Dia meninggal di sini tiga bulan lalu," jawabku.
Anak cowok itu mengangguk. Membaringkan kopernya di depan pagar dan duduk di sana.
"Di rumah lamaku, aku menaruh bunga yang lebih besar," gumamnya, sambil lalu.
Kutegakkan sepeda pink keranjang putih yang disandarkan ke dinding. Berniat untuk pergi karena canggung berduaan dengan anak cowok. Setelah tahu ada keluarga yang akan pindah ke kompleks kami, aku berharap ada anak perempuan yang pindah. Namun, melihat anak cowok ini betah di sini, sepertinya dia orang yang kutunggu.
"Kenapa kamu nggak masuk?" tanyaku. Pekerja-pekerja berbadan besar lalu-lalang masuk rumah, memindahkan kardus-kardus besar dan perabotan rumah dari mobil boks.
"Karena tempat ini bukan rumahku."
"Terus, rumah siapa?"
"Rumah papaku. Aku tinggal puluhan kilo dari sini."
Aku mengedip-ngedip, tidak mengerti. "Kamu dan papamu beda tempat tinggal? Kata mamaku, keluarga harus tinggal serumah, karena itu aku nggak boleh sering-sering nginap di rumah Maya."
Anak itu mendongak, hanya untuk melepas napas ke depanku. Seperti mengatakan kalau aku terlalu cerewet untuk percakapan pertama kami sebagai orang asing.
"Kalau papaku masih menganggapku keluarga, harusnya dia tidak meninggalkan rumah lama untuk memulai hidup baru di sini," gerutunya. "Ini bukan yang aku mau."
"Lalu, apa yang kamu mau?"
Lagi-lagi, dia membuang napas. Ingin membuatku berhenti bicara, tapi aku terlanjur penasaran. "Tinggal sama Mama."
"Kalau begitu tinggal saja sama mamamu."
"Itu nggak bisa."
"Kenapa?"
Dia terdiam dan ragu, matanya menerawang ke suatu tempat yang tepat pastinya berada jauh dari sini. "Karena mamaku sudah meninggal."
Dari suaranya yang serak dan bindeng, dan dari gelagatnya yang seakan menyembunyikan muka-memandang tanah, kukira dia akan menangis. Tapi waktu dia mengangkat wajah, tidak ada tangis di sana.
KAMU SEDANG MEMBACA
This is Not A Good Love Story [COMPLETED]
Teen Fiction🌸 Wattys Winner 2021 kategori "Young Adult" 🌸 Cerita pilihan @WattpadYoungAdultID Juni 2022 Dalam kisah Romeo dan Juliet, kita diajarkan bahwa cinta butuh pengorbanan. Dalam kisah The Notebook, cinta diibaratkan sebuah rumah, walau berkali-kali me...