12. We Sleep When The Fire Dies

2.8K 626 35
                                    

Darah lebih kental daripada air.

Ungkapan itu ingin menyatakan bahwa ikatan keluarga lebih penting daripada hubungan dengan orang-orang tidak sedarah. Dikatakan begitu karena sebagian hidup kita semasa kanak-kanak dihabiskan bersama mereka, kalian bernaung di atap yang sama, mengenal baik-buruk perilaku masing-masing. Kamu berbagi sebagian dirimu.

Namun, kadang-kadang, orang-orang penting itulah yang paling tidak memahamimu.

Sebagai anak bungsu, sebagian kehidupan masa kecilku adalah melihat kakakku. Dia pintar, rajin, pemain unggulan klub bola voli, dan sangat percaya diri. Impianku adalah menjadi sepertinya. Kurasa, papa dan mama pun berharap sama.

Karena itu, aku belajar keras, melakukan apa yang kakak senangi, menjadi anak yang baik bagi kedua orang tuaku. Namun, kemudian aku sadar tidak semua usaha mendatangkan hasil yang kita inginkan.

Walau aku belajar keras, aku tidak pernah menyentuh peringkat lima teratas di kelas. Aku mencoba menyukai bola voli, namun tiap kali menerima lemparan dari lawan, aku terlalu gugup melihat bola melayang ke atasku hingga pukulanku meleset. Aku berusaha menjadi anak baik, membantu sebelum diminta tolong, menahan keinginanku bila dibutuhkan, patuh pada permintaan mereka. Namun, tiap kali aku pulang dari rumah, kertas hasil ujian seratus Kak Nara lebih menarik dari melihat usahaku yang tidak pernah sesempurna kakak.

Di mata orang tuaku, semua usahaku terlalu samar dibanding yang dihasilkan kakak. Tanpa sadar, aku menjadi bayangan kakak yang tidak pernah sebaik dia.

Kuhirup ingus yang hampir jatuh. Menyeka bekas air mata yang rupanya telah mengering di pipi. Lalu, memandang sekelilingku yang terasa kenal juga asing.

Aku sedang duduk di bawah lampu jalan, sepertinya di luar kompleks rumah kami. Rumah-rumahnya tampak asing. Jalanan sepi, tidak ada orang yang lalu lalang. Tentu saja, hari sudah hampir larut. Karena terlalu marah, aku berlari sejauh-jauhnya dari rumah tanpa membawa apa pun, kecuali diriku dalam balutan seragam sekolah. Hape atau dompet pun tidak kubawa.

Inilah kenapa ada nasihat, pikir dulu sebelum bertindak.

Tapi, siapa juga yang bisa berpikir matang kalau terlanjur meledakkan amarah, mana sempat mereka berpikir hari sudah terlalu malam untuk kabur dari rumah?

Suara jangkrik berderik di suatu tempat terdengar. Pendar lampu kuning menyinari jalanan, sinarnya tidak merata masuk ke lorong gelap antara rumah. Deru kendaraan bermotor terdengar dari kejauhan. Angin berembus di depan wajahku, membuatku mengeratkan pelukan ke tubuhku lebih erat. Berada di sini menakutkan dan aku merinding.

Terpikir olehku untuk pulang, namun kuurungkan mengingat mama pasti sedang marah besar sekarang. Aku sudah membentak dan membanting pintu di depan mukanya. Menginap di rumah Maya atau Dirga mungkin alternatif terbaik. Tapi, kedengarannya payah harus menceritakan alasan aku kabur dari rumah.

Mungkin ..., Dirga bisa mengerti. Dia yang paling dewasa di antara kami. Atau tidak. Terakhir kali aku kabur waktu kelas dua SMP dia membopongku pulang ke rumah.

Kuharap, Dirga mau mengerti. Aku sudah melalui hari yang panjang. Dalam sehari aku sudah berkelahi sebanyak dua kali.

Derap kaki samar-samar muncul di antara suara jangkrik berderik. Langkahnya tegas dan semakin besar di telingaku. Orang itu berjalan mendekatiku. Kudongakkan kepala karena menduga satu nama, cowok yang kuinginkan ada di sini untuk mendengarkanku.

Yang kudapati adalah wajah terkejut pria paruh baya. Sebelah tangannya masuk ke jaket hitam parasutnya, sebelahnya lagi memegang kantong plastik berisi kaleng bir dan bungkus rokok. Sepertinya, dia baru pulang dari toko kelontong.

This is Not A Good Love Story [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang