Menyelipkan jemari di rambut kekasih.
•••
"Eh, Lin, tunggu!" pinta Sasa sambil duduk dari kursinya. Dia menyimpan uang jajan di saku seragam dengan penuh hati-hati, lalu menyamakan langkah bersama Alin. "Kenapa? Kok, lihat gue kayak gitu?"
Alin mengangkat bahu acuh sambil melanjutkan langkahnya. "Gak apa-apa, sih. Cuma heran aja lo mau jajan ke kantin. Kan, selama 3 hari ini bawa makan dari rumah mulu." Alin bergerak menggandeng tangan Sasa. "Ada masalah apa antara lo sama Mahesa? Jelas banget lo lagi menghindari dia tahu."
"Enggak, kok. Gue enggak lagi menghindari siapa-siapa," kilah Sasa. Meski terlihat sangat jelas, dia masih berusaha menutupi kebenarannya. "Gue cuma lagi suka aja sama masakan oma gue. Kebetulan hari ini oma gak masak karena tidur kemaleman. Jadi gue makan di kantin."
"Semakin lo berusaha bohong, semakin jelas gelagat lo, Sa. Mahesa sendiri yang bilang lo selalu lari kalau ketemu dia. Bahkan, dia udah panggil-panggil lo, lo masih bisa kabur aja." Alin melirik sahabatnya yang tiba-tiba bungkam. Tidak ada tanda-tanda Sasa akan melakukan pembelaan. "Dia cowok baik, lho, Sa. Jangan kayak gini. Biarpun emang Mahesa berbuat salah sama lo, lo bilang langsung aja. Jangan menghindar kayak gini."
Gue yang salah, Lin. Gue yang salah karena gak bisa mengendalikan perasaan gue sendiri. Dan sayangnya, Sasa hanya bisa mengangguk tanpa mengatakan sepatah kata pun.
Meski sudah 3 hari tidak datang ke kantin, Sasa tahu betul suasananya akan seramai apa saat jam makan siang begini. Antrean panjang membentang dari meja penjual sampai kursi meja makan. Mereka semua sibuk dengan kegiatan masing-masing. Cepat-cepat melangkah saat orang terdepan sudah memegang makanan pesanan mereka.
"Beli soto, yuk? Gue pengen yang seger-seger." Zidan berjalan di depan Mahesa dengan tangan yang diselipkan ke saku celana. Dia tersenyum saat Mahesa mengangguk, menyetujui menu makan siang rekomendasinya. "Tuh, antreannya juga gak panjang-panjang amat. Yuk, buruan!"
Baru saja Mahesa hendak melangkah mengikuti Zidan, tetapi dia langsung mengubah arah kakinya saat mendapati kehadiran seseorang di tengah-tengah keramaian kantin. Dia langsung berdiri tepat di belakang orang itu dan mengangguk sopan saat Alin menyapanya. Mahesa sama sekali tidak menggubris protes dari Zidan, lebih memilih fokus memandangi perempuan yang ada di depannya.
"Kok, lo berdiri di sini?" tanya Sasa dengan mata yang membulat.
"Karena gue mau makan ketoprak," jawab Mahesa dengan nada tenang dan wajah datar. Matanya sama sekali tidak berpaling dari Sasa. "Lo gak lupa kalau lukisan lo masih ada di gue, 'kan? Masih butuh atau enggak? Kalau enggak, mau gue buang."
"Jangan!" sergah Sasa dengan cepat. "Lukisan itu harus dikumpulin lusa. Gak bakal sempet kalau gue bikin dari awal lagi."
Alis kanan Mahesa terangkat. "Lo butuh sama lukisannya, tapi selalu menghindar tiap kali mau gue kasih. Curiga lo enggak sungguh-sungguh mau dapat nilai bagus buat tugasnya." Kemudian, Mahesa mengangkat bahunya acuh. "Ya udah kalau lo masih butuh, ambil ke kelas gue nanti. Kalau enggak, gue buang ke tempat pembakaran sampah hari ini juga."
"Iya, iya. Nanti gue ke kelas lo dulu sepulang dari sini." Sasa tidak punya pilihan lagi. Sudah untung Mahesa tidak membuangnya dari kemarin-kemarin juga.
Zidan geleng-geleng kepala melihat sikap Mahesa pada Sasa. Benar-benar tidak mencerminkan sikap laki-laki pada gadis pujaannya. "Mahesa ... Mahesa ...." Zidan menepuk bahu sahabatnya itu. "Bukan kayak gitu berinteraksi sama gebetan. Lo lebih mirip Pak Budi yang marah gara-gara ada murid telat masuk kelas, tahu gak? Yang lembut, dong," ceramah Zidan setengah berbisik.
KAMU SEDANG MEMBACA
Flimflam [Tamat]
Teen FictionKhaesa Valeria hanya gadis biasa yang baru mengenal indahnya cinta di masa SMA. Meski sosok Ivano adalah pacar yang sedikit keras, tetapi Sasa tetap mencintai laki-laki yang 2 tahun lebih tua darinya. Dibentak, dimaki, sampai disakiti secara fisik j...