28. Indelible

2.9K 186 23
                                    

Tidak akan bisa terlupakan.

•••

"Sasa, bangun. Udah siang, Nak."

Tidur nyenyak Sasa terusik karena sinar matahari yang menyentuh wajahnya. Gadis itu menggeliat sambil membuka matanya perlahan. Sosok wanita paruh baya yang sedang merapikan gorden langsung tertangkap pandangannya. Saat itu juga Sasa tersenyum, merasa bahagia karena pagi ini terasa begitu indah.

"Pagi, Ma," sapa Sasa dengan suara seraknya, khas orang baru bangun tidur.

Mama Sasa—Bu Seruni—menoleh seketika. Beliau tersenyum hangat dan segera menghampiri anaknya ke ranjang. "Pagi menjelang siang, Sayang," balasnya sambil mengecup singkat kening Sasa. "Ayo, bangun. Kamu bangunnya paling telat, lho. Oma udah senam sama Khafi. Daren dari pagi udah ke Tegal Wangi buat lihat sunrise. Mahesa sama papa udah duet di dapur buat siapin sarapan. Kamu doang yang masih di atas ranjang."

Tanpa merasa berdosa, Sasa tersenyum kuda. "Maklum, Ma, aku capek banget."

"Tidurnya sekarang udah cukup, 'kan? Ayo, bangun. Malu sama pacar kamu, ih!" Bu Seruni bangkit dari duduknya dan segera keluar kamar. "Mama tunggu di meja makan, lho, Sa. Jangan tidur lagi."

"Iya, Ma." Sasa langsung mendudukkan tubuhnya. Melakukan peregangan ringan, lalu menatap jendela kamar dengan mata yang berbinar. "Selamat pagi menjelang siang, Bali." Setelah itu, barulah dia turun dari ranjang dan menuju kamar mandi.

Sasa dan Mahesa telah menyelesaikan pendidikannya di SMA Garuda. Saat ini, mereka sedang menunggu pengumuman penerimaan mahasiswa baru dari perguruan tinggi yang mereka tuju. Tentu saja, bukan Universitas Widyatama. Keduanya sepakat untuk membuka pengumuman itu di Bali, sembari liburan. Tidak hanya pergi berdua, mereka datang bersama Daren dan Oma Denok.

Mengenai kesehatan Mahesa? Dia baik. Secara kasat mata, dia terlihat seperti pemuda normal yang sehat seperti pada umumnya. Hanya saja, dalam situasi tertentu dia mengalami sakit perut tanpa sebab. Kadang, dia juga kesulitan untuk buang angin. Itu tidak berbahaya, hanya efek samping pasca operasi. Jika Mahesa mengonsumsi obat rutin dan mengikuti aturan dokter, tidak akan ada masalah apa-apa.

"Selamat siang, Semuanya," sapa Sasa begitu sampai di meja makan. Dia mencium pipi sang papa, mengacak rambut Khafi, lalu duduk di samping Mahesa dengan wajah ceria. "Wah ... udah lama banget aku enggak makan masakan Papa. Lidah aku udah kangeeeen banget! Harusnya, masakan Papa ada peningkatan, nih."

Pak Radit—papa Sasa—membusungkan dada penuh percaya diri. "Dicoba dulu, dong. Baru kamu ngomong kayak gitu," jawab beliau, tidak mau kalah dengan sang putri sulung. "Tapi, ini bukan masakan papa doang, sih. Mahesa juga masak tadi. Dia lebih jago dari kamu, lho, Sa."

"Tunggu, deh. Itu pujian karena Sasa punya pacar yang jago masak, atau hinaan karena Sasa gak bisa masak?"

"Pujian," cetus Mahesa sambil mengusap bahu Sasa, seperti memberi kekuatan pada gadis itu.

Sasa memicingkan mata, tidak percaya dengan jawaban laki-laki itu. Namun, kemudian dia beralih kembali ada makanan yang ada di atas meja. "Nanti kita omongin lagi. Sekarang, Sasa mau manjain lidah dulu."

Dengan penuh semangat, Sasa memindahkan berbagai makanan ke atas piringnya. Sate lilit, tempe bacem, urap, hingga sambal kacang pedas tidak terlewatkan oleh gadis itu. Sasa juga tidak peduli jika yang duduk di sampingnya saat ini adalah Mahesa, sang pacar. Ia hanya fokus mengisi perut dengan lahap.

"Pengumumannya jam berapa, Sa?" tanya Bu Seruni di tengah-tengah sarapan mereka.

"Jam 3, Ma," sahut Sasa acuh tak acuh. Perhatiannya masih pada makanan.

Flimflam [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang