22. Apricity

1.4K 149 7
                                    

Kehangatan sinar matahari di musim dingin.

•••

Seharian ini, kelas Sasa disibukkan dengan berbagai praktek. Dari pagi sampai pulang, tidak ada kesempatan untuk Mahesa bertemu dengannya. Bahkan, untuk makan siang pun dia yang membeli dan mengantarkannya ke kelas Sasa. Sempat ada yang curiga dengan interaksi mereka berdua di ambang pintu, tetapi untungnya ada Alin dan Zidan yang bisa dijadikan tameng kedekatan mereka.

Dan sekarang, Mahesa kembali ke lapangan basket setelah mengantar pujaan hatinya pulang. Setelah berganti baju, Mahesa bergegas bergabung dengan tim basket lain yang sudah siap latihan.

"Hubungan lo sama Sasa itu statusnya apa, sih, Sa?" tanya Zidan sambil terus melakukan pemanasan.

"Temen," jawab Mahesa tanpa ragu sedikit pun. "Tapi, gue sama dia sama-sama sayang yang lebih dari temen. Kita punya perasaan satu sama lain."

Zidan mengernyitkan keningnya. Sungguh, ia tidak paham dengan jawaban sahabatnya itu. "Emang ada yang begitu? Temen tapi punya perasaan lebih? Kalau mau temenan harus murni temen. Kalau ada perasaan lebih, dijadiin pacar, lah. Gimana, sih?"

"Lo tahu sendiri Sasa masih punya pacar. Mana cowoknya temen gue juga. Gak gampang buat jadiin dia pacar gue."

Mahesa sudah tahu tentang keinginan Sasa mengakhiri hubungan dengan Ivan. Gadis itu sudah cerita mengenai pertengkaran mereka tempo hari. Sasa ingin pisah, Ivan masih ingin berjuang. Intinya begitu. Dan dari inti ini juga Mahesa tahu kalau Ivan benar-benar sudah berubah. Dia tulus mencintai Sasa dan tidak ingin kehilangannya. Hanya saja, Sasa sudah tidak bisa bertahan lagi. Hatinya semakin bergerak pada Mahesa. Begitu pula sebaliknya.

Karena pikiran Mahesa terus berkelumit mengenai hubungan cintanya, dia tidak sengaja melakukan bounce pass terlalu kuat sehingga pantulannya jauh. Dan entah apa lagi rencana Tuhan, bola itu mengenai wajah Nina.

"Aw!" pekik Nina. Saking kuatnya bola itu, ia sampai terjatuh ke lantai. "Aduh, kepala gue."

Dengan cepat Mahesa menghampiri gadis itu. Dia berjongkok di hadapan Nina dan memeriksa keadaannya. "Bagian kepala mana yang kena? Kalau sakit banget, mendingan kita ke rumah sakit aja, deh. Gue pasti tanggung jawab."

Perlahan, Nina mengangkat kepalanya. Rasa kesal atas kejadian yang menimpanya mendadak hilang saat tahu tersangkanya adalah Mahesa. "Jidat gue yang kena," jawab Nina sambil menurunkan tangannya.

Mata Mahesa membulat saat mendapati luka lecet di dahi Nina. Bukan hanya lecet, sampai berdarah juga. "Jidat lo berdarah. Kita ke rumah sakit aja, ya?"

"Gak usah. Kayaknya, diobatin di UKS juga cukup, deh." Nina mencoba bangkit dari duduknya. Namun, saat berdiri, seisi buku seakan berputar. Tubuhnya pasti akan kembali membentur lantai jika Mahesa tidak bergerak dengan cepat. "Kepala gue pusing banget. Kayaknya, gak bisa jalan kalau gak ada yang pegangin."

"Gue bopong, kok. Tenang aja."

Mahesa berpamitan pada pelatih dan ketua tim basketnya. Dia tidak menghiraukan tatapan penuh arti Zidan dan terus melangkah sembari membopong tubuh Nina. Ia juga tidak mempedulikan lirikan para siswa SMA Garuda yang ada di koridor. Yang Mahesa lakukan hanya bertanggung jawab atas perbuatannya. Dia membawa Nina ke UKS dan mengobati luka gadis itu.

"Aw! Pelan-pelan," pinta Nina sambil terus menatap Mahesa. Sungguh, Nina hampir mati karena terus menahan napasnya. Berada di jarak sedekat ini dengan Mahesa, rasanya seperti mimpi.

"Gue minta maaf atas kejadian ini, ya. Gue sama sekali enggak sengaja. Tadi, gue kekencengan buat oper bolanya," ucap Mahesa sambil melirik Nina sebentar, kemudian kembali fokus mengobati. "Lo mah pulang? Biar gue anter aja."

Flimflam [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang