2. Errorist

2.4K 262 8
                                    

Orang yang selalu membuat kesalahan sama, kesalahan yang sudah menjadi kebiasaan.

•••

Begitu bel pertanda istirahat kedua terdengar, semua orang langsung berburu menuju kantin untuk mengisi perut. Tidak ada yang suka terjebak antrean panjang yang bisa membuat kaki pegal dan jam istirahat terbuang sia-sia. Termasuk Alin. Hanya saja dia harus kembali berbalik saat tidak mendapatkan jawaban dari pertanyaannya mengenai tugas fisika. Ia langsung membuang napas saat mendapati Sasa baru saja bangkit dari duduknya dan berjalan dengan langkah lesu.

"Sa, ayo buruan!" Kesal karena Sasa masih saja berjalan dengan lambat, Alin memutuskan untuk menyusul sahabatnya itu lalu menariknya keluar kelas. "Jangan sampai masalah lo sama Kak Ivan bikin kita kehabisan makan siang." Lalu, Alin melilitkan tangannya di lengan Sasa. "Lupain dulu masalah itu, ya? Sekarang kita isi perut aja dulu."

Sasa langsung menatap sahabatnya itu malas. "Gimana gue bisa lupain masalah itu, Lin? Cowok gue mesra-mesraan sama cewek lain, lho. Jelas gue sakit hati, kepikiran, bingung mau gimana lagi sama hubungan ini. Gimana aja kalau lo mergokin Zidan sama cewek lain yang lebih seksi dari lo."

"Gak mungkin Zidan kayak gitu, lah. Dia jelas beda banget sama pacar lo." Secara tidak langsung, Alin sedang menjelekkan Ivan di depan Sasa. Dia berdiri di depan Sasa, bergabung di antrean bakso. "Gue juga udah bilang sama lo, putus aja. Mau sampai kapan lo kayak gini mulu? Ini baru bulan ke-4, tapi batin lo udah tersiksa banget. Sering dibikin nangis, dibentak, sampai main fisik, apa lagi yang lo harapkan dari cowok kayak gitu, sih?"

Sambil menyilangkan tangan di depan dada, Sasa maju selangkah. "Gue cinta."

"Lo bego," sahut Alin dengan cepat. Dia tidak peduli jika itu akan menyakiti perasaan Sasa, memang begitu kenyataannya. "Jatuh cinta sama orang lain itu emang bikin hidup kita jadi penuh warna, tapi jangan sampai lo kehilangan cinta buat diri sendiri juga, Sa. Cinta itu ada buat bikin kita bahagia, bukan sengsara."

"Gue bahagia sama Ivan, kok."

"Tapi lebih banyak meweknya."

Tidak mau Ivan semakin dijelekkan, Sasa memilih untuk diam saja. Lihat? Di saat hatinya sakit karena kejadian semalam saja, Sasa masih bisa membela Ivan di hadapan sahabatnya. Tidak ada yang kurang dengan cinta Sasa pada laki-laki itu, hanya Ivan saja yang kurang menghargainya. Dan bodohnya, meski tahu tidak dihargai dengan benar, Sasa masih saja bertahan.

"Ini baksonya."

Dengan cepat Sasa mengambil semangkuk bakso yang diberikan Pak Jarwo. Sayangnya, bukan hanya tangan Sasa yang saat ini memegang mangkuk bakso itu, tetapi ada juga tangan lain yang mempertahankan. Tangan yang lebih besar dan kekar dari milik Sasa. Gadis itu kemudian menoleh, hendak protes pada siapa saja yang hendak merebut makan siangnya.

"Sorry, ini punya gue," ucap Sasa dengan malas. Baru beberapa saat Sasa memperlihatkan wajah judesnya, kemudian berubah menjadi terkejut saat melihat siapa orang itu. "Lo?"

"Mbak?" Orang itu sama terkejutnya dengan Sasa.

Sontak saja Sasa langsung melirik atribut kelas yang ada di lengan kanan seragam orang itu. "Kita satu angkatan, dan gue yakin lo lebih tua dari gue. Jadi, gak perlu lo panggil gue 'mbak' kayak barusan." Sasa langsung mengeratkan pegangannya saat orang itu melepaskan tangannya dari mangkuk bakso. "Ini buat gue dulu?" tanya Sasa, ingin memastikan.

"Iya," singkat orang itu sambil mempersilakan Sasa berlalu dari sana.

Setelah berterima kasih, Sasa langsung bergabung dengan Alin dan Zidan yang sudah duduk di meja yang tak jauh dari antrean makanan. Sasa hanya menghiraukan tatapan penuh arti sahabatnya yang menyebalkan itu. Rupanya, bukan hanya Zidan yang akan bergabung dengan Sasa dan Alin. Untuk makan siang kali ini, dia juga membawa orang lain ke meja mereka. Seseorang yang baru saja berebut mangkuk bakso dengan Sasa.

Flimflam [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang