23. Incredulity

1.4K 167 18
                                    

Ya Allah, semoga yang nge-vote sama ngomen dilancarkan rezekinya. Aamiin ....

•••

Ragu tentang kebenaran akan sesuatu.

•••

"Assalamu'alaikum," ucap Ivan begitu memasuki rumah Sasa. Dia tersenyum hangat pada Oma Denok dan langsung bergerak mencium punggung tangan beliau. "Maaf baru bisa pulang sekarang, Oma. Tadi saya ajak Sasa nonton sama makan dulu, jadi agak telat."

"Wa'alaikumsalam. Iya, gak apa-apa," jawab Oma Denok dengan nada datar. Beliau melirik Sasa. "Oma ada janji makan malem sama temen-temen oma. Kamu jaga rumah, ya. Pintu depannya jangan ditutup, biar enggak jadi fitnah."

Sasa mengangguk lesu. "Iya, Oma. Hati-hati, ya."

Setelah itu, Oma Denok segera keluar rumah karwna taksi yang beliau pesan sudah ada di depan gerbang. Sebelum meninggalkan teras rumah, wanita baya itu melirik ruang tamu terlebih dahulu, tempat di mana Sasa sedang duduk berdua dengan Ivan.

Baiklah, Oma Denok akui, akhir-akhir ini Ivan memang telah berubah total. Dia menjadi sopan, hangat, dan bertanggung jawab atas Sasa. Oma Denok menyukai perubahan Ivan itu, sebagai orang tua pada orang muda. Bukan sebagai orang tua yang menyetujui cucunya berkencan dengan Ivan. Karena, sampai hari ini, Oma Denok masih terus berharap Mahesa yang menjadi pelabuhan terakhir untuk Sasa.

"Belajarnya nanti aja, ya. Aku capek banget, mau istirahat," ucap Sasa, setelah beberapa saat membisu.

"Iya, aku emang enggak mau ajak kamu belajar, kok. Wajah kamu aja udah sayu gitu." Ivan membanting tubuhnya ke sandaran sofa. Dia memandang Sasa dari seberang meja. "Menurut kamu, Mahesa sama Nina cocok, gak?"

Kening Sasa berkerut seketika. Sungguh, dia tidak suka pertanyaan itu. "Kok, nanya gitu?"

"Gak apa-apa, nanya aja. Soalnya, aku perhatiin tadi, kayaknya Nina ada rasa sama Mahesa, deh. Cuma, emang si Mahesa aja yang kelewat lempeng, dia sama sekali enggak tertarik sama Nina." Ia geleng-geleng kepala, tidak habis pikir dengan kedinginan Mahesa pada Nina. "Kalau menurut kamu cocok, gimana kalau kita comblangin mereka aja?"

Saat itu juga, Sasa tersedak salivanya sendiri. Matanya mendadak merah, Tenggorokannya terasa perih, dan kepalanya mendadak panas. "Ngapain pakai comblangin mereka segala, sih? Kalau emang sama-sama suka, nanti juga jadian sendiri!" sungut Sasa, setelah batuknya reda.

"Lho, kenapa kamu sewot begitu?"

Bukannya menjawab, Sasa malah bangkit dari duduknya dan berlalu meninggalkan Ivan begitu saja. Kaki menjaganya terus melangkah menuju dapur. Sasa butuh air mineral dingin untuk menetralisir lava di kepalanya.

"Gimana ide aku? Kamu mau, 'kan?" tanya Ivan sambil terus mengekori Sasa. Sekarang, dia sudah berdiri bersandar ke lemari es sambil menyilangkan tangan di depan dada. "Kayaknya, mereka bakal cocok, deh. Tadi juga mereka ngobrolnya nyambung gitu. Bisa aja Mahesa punya perasaan sama Nina, tapi kita gak sadar. Kan, wajah dia suka kelewat datar."

"Van, gak usah ikut campur sama urusan asmara orang lain, ah. Kalau Mahesa emang ada rasa, biarin aja dia berjuang sendiri, enggak usah kita bantu segala. Dan kalau kamu malah sibuk comblangin mereka, kamu gak akan punya waktu buat belajar sama aku." Sasa menyimpan kembali gelas dengan sedikit bantingan. Demi apa pun, dibandingkan harus sakit hati karena melihat Mahesa dengan Nina, Sasa lebih sanggup kehilangan kepala karena terus belajar.

Dan bodohnya, Ivan masih tidak mengerti dengan ekspresi kesal Sasa. Dia terus mengikuti ke mana Sasa melangkah sambil menjalin berujar, "kita cuma bantu aja, enggak sepenuhnya combalingin, deh. Kita dorong Mahesa dari belakang buat deketin Nina. Gimana?"

Flimflam [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang