21. Thantophobia

1.4K 157 4
                                    

Ketakutan untuk kehilangan seseorang yang dicintai.

***

Sejak 5 menit yang lalu, pusat pandangan Sasa adalah serius Ivan yang sedang menerangkan materi Radiasi Benda Hitam pada Sasa. Telinga dan mata gadis itu memang tertuju pada Ivan, tetapi tidak dengan hati serta pikirannya.

Mau sampai kapan gue dicekokin pelajaran susah kayak gini? Sumpah, kepala gue rasanya mau pecah! Pinter enggak, yang ada otak gue makin hangus! Gue enggak bisa kayak gini terus, gue mau bisa nikmati hidup. Apa lebih baik gue minta putus sekarang aja, ya?

"Sekarang, kamu kerjain soal ini. Kalau ada yang enggak dipahami, kamu bisa tanya aku," final Ivan sambil memberikan buku latihan soal pada Sasa. Namun, dahinya mengkerut saat mendapati Sasa hanya melamun. "Kamu dengerin penjelasan aku, 'kan?"

"Iya, gue denger, kok, Sa," jawab Sasa dengan cepat.

Dahi Ivan semakin berlipat-lipat. "Kamu panggil aku apa? 'Sa'? 'Sa' siapa?"

Mampus! Kenapa gue pakai salah sebut nama Ivan segala, sih? Dengan cepat Sasa mengalihkan pandangannya. Dia tersenyum tipis. "Sayang, maksudnya. Sa ... yang. Gitu."

"Aku kira kamu salah sebut nama aku." Ivan ikut tersenyum lebar. Sungguh, hatinya terasa berbunga-bunga hanya karena panggilan singkat Sasa barusan. "Kayaknya, udah lama banget kamu enggak panggil aku kayak gitu, deh. Jadinya, barusan hati aku kaget banget. Hehe ...."

"Hehe, iya." Tanpa alasan yang jelas, Sasa ikut cengengesan dengan tampang bodoh. Dia menarik buku latihan soal dan mulai mengarahkan pensilnya untuk menjawab. Namun, ia tidak bisa fokus sama sekali. Gue pengin udahan main sekolah-sekolahan kayak gini. Gue udah gak kuat!

Baru beberapa detik buku itu ada di pangkuan Sasa, sekarang kembali terongok di atas meja. Sasa menyimpan pensil dan kembali memusatkan perhatiannya pada Ivan. Keputusannya sudah bulat, Sasa tidak akan mundur lagi. Dia sudah sangat siap untuk memulai kisah baru yang lebih menyenangkan.

"Aku mau ngomong sesuatu sama kamu. Penting. Tentang hubungan kita," cetus Sasa dengan penuh kemantapan.

Sama halnya dengan Sasa, Ivan juga mengalihkan perhatiannya. Dia menyimpan kembali cangkir teh ke atas meja dan menatap Sasa lekat. "Tentang kita? Apaan?"

Sasa menelan salivanya. Iya, ini keputusan terbaik, Sa. Lo enggak bisa kayak gini terus. Untuk beberapa saat, Sasa mengatur napasnya terlebih dahulu, sebelum akhirnya dia berkata, "aku gak bisa lanjutin hubungan kita." Dengan penuh percaya diri, Sasa berhasil mengeluarkan kemelut pikirannya yang selama ini menyiksa. "Aku udah coba buat memperbaiki hubungan kita. Tapi, gak bisa. Makin ke sini, rasanya makin hambar."

Untuk beberapa saat, Ivan hanya terdiam sambil menatap Sasa kosong. Sungguh, dia sama sekali tidak menyangka Sasa sanggup berkata seperti itu. "Kamu ngomong apa, sih? Kita gak ada masalah apa-apa, Sayang. Aku juga udah berubah sekarang, 'kan? Aku udah enggak kasar lagi sama kamu, enggak egois lagi, enggak main cewek lagi. Aku udah jadi Ivan yang lebih baik, kenapa kamu malah mau putus?"

"Aku gak bisa lanjut karena perasaan aku ke kamu enggak kayak dulu, Van. Sayang aku ke kamu makin berkurang. Cinta aku makin mati. Dan udah enggak ada lagi euforia waktu berdua sama kamu kayak gini. Biarpun kamu udah berubah, rasanya udah gak kayak dulu lagi." Sasa menjeda kalimatnya, memberi waktu pada Ivan untuk mencerna semuanya. Lalu, dia kembali berujar, "kalaupun dilanjutin, semuanya cuma bakal jadi kebohongan."

"Aku gak apa-apa. Aku sama sekali enggak keberatan. Selama kamu tetep ada di samping aku, aku gak peduli hubungan kita dilandasinkebohingan atau kejujuran." Ivan meraih tangan Sasa dan menggenggamnya erat. Sangat erat. Ada kekecewaan, kesedihan, dan keputusasaan di sana. "Kamu tahu banget, Sa. Aku enggak punya siapa-siapa selain kamu. Gak ada yang sayang dan peduli sama aku selain kamu."

Flimflam [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang