26. Alew

1.7K 173 14
                                    

Tangisan patah hati.

•••

Sasa hanya bisa memandangi wajah Mahesa dari balik kaca. Laki-laki itu masih membutuhkan perawatan intensif, tidak bisa langsung pindahkan ke ruang rawat. Melihat banyaknya alat medis yang menempel pada tubuh kekarnya, Sasa semakin merasa bersalah. Dia tidak bisa berhenti menyalahkan diri sendiri.

Cepet sadar, Sa. Biar gue bisa minta maaf secara langsung. Gue akan melakukan apa aja kalau nanti lo udah buka mata. Gue akan merawat lo, di samping lo, terus membahagiakan lo sebisa gue.

Meski jauh dari kata puas, Sasa tetap harus pergi dari sana. Dia meninggalkan ruangan Mahesa dengan perasaan tak karuan. Dan begitu ia menutup pintu, sebuah minuman tiba-tiba ada di depan wajah Sasa. Dan ternyata, itu adalah ulah Daren.

"Lo ada punya waktu, 'kan? Gue mau ngomong sama lo," ucap Daren. Suara ketus yang menyebalkan yang selalu keluar dari mulutnya mendadak hilang. Nada bicaranya terkesan santai dan sopan dalam waktu yang bersamaan. "Tenang aja, gue enggak akan ajak lo ribut, kok. Gue tahu, ini bukan waktu yang tepat buat bercanda."

Untuk beberapa saat, Sasa hanya terdiam sambil terus memperhatikan wajah Daren. Dilihat dari wajahnya, ia memang tidak sedang main-main. Maka dari itu, Sasa menganggukkan kepala dan menjawab, "boleh. Gue rasa, gue juga butuh temen ngobrol supaya gue enggak ngelakuin hal yang bodoh malem ini."

"Hal yang bodoh? Bunuh diri maksud lo?" Setelah mengatakan itu, Daren kembali melipat bibirnya. "Sorry."

Dengan mata yang memicing, Sasa melangkah meninggalkan pintu ruangan Mahesa. "Bisa jadi, sih. Nyawa gue hampir hilang waktu lihat Mahesa keluar dari UGD. Tapi, gue tahu, gue harus tanggung jawab atas kejadian ini. Gue harus menebus kesalahan gue."

"Tadinya, gue berpendapat kayak gitu. Tapi, setelah gue pikir-pikir lagi, gue juga ikut andil menyebabkan kecelakaan ini. Seandainya gue membuka mata gue lebih cepat, Mahesa gak perlu jadi anggota geng motor segala. Dan kecelakaan ini gak akan terjadi."

Keduanya mendaratkan bokong di kursi taman rumah sakit. Mata mereka tertuju pada langit malam Jakarta yang sama sekali tidak berbintang. Semuanya terasa kosong, sama seperti perasaan mereka yang tak menentu. Untuk beberapa menit, hanya ada desiran angin malam yang menemani mereka.

"Gue cuma iri sama Mahesa," cetus Daren tiba-tiba, memecah keheningan di antara mereka. "Dia selalu bisa menjadi seperti yang papa inginkan. Berprestasi di sekolah, punya bakat di bidang seni, dan bisa deket sama papa biarpun kelihatannya kaku banget. Bahkan, itu anak bisa masak apa pun. Dengan semua yang dia punya itu, gue merasa enggak punya celah untuk mengalahkannya dengan cara yang baik. Jadilah gue benci dia, karena gue enggak bisa sebaik dia."

Sasa hanya terdiam, setia mendengarkan kata demi kata yang keluar dari bibir Daren. Untuk kali ini, dia akan membiarkan Daren mengeluarkan semua keluh kesahnya. Tidak akan ada perdebatan tidak penting di antara mereka, hanya ada kedamaian yang terasa mencekik.

"Jujur, gue pernah berpikir buat berdamai dengan ketidakmampuan gue buat mengalahkan dia. Tapi, luka dalah diri gue justru selalu berhasil mengendalikan pikiran gue. Selain masalah kedekatan Mahesa sama papa, gue juga iri karena dia masih punya mama. Sementara gue enggak."

"Tante Rini juga mama lo. Dia sayang juga sama lo. Dari cara pandang Tante Rini ke lo, jelas banget ada kasih sayang besar seorang ibu untuk anaknya."

Daren tersenyum kecut. "Gue tahu. Masalahnya adalah ... gue terlalu pengecut buat menghadapi kasih sayang itu. Akhirnya, gue pura-pura gak tahu dan terus menenggelamkan diri dalam luka."

"Sebenarnya, luka apa yang lo maksud di sini?" tanya Sasa sambil memposisikan tubuhnya untuk menghadap Daren.

"Mama gue meninggal waktu papa gak ada di rumah." Daren juga mengalihkan pandangannya. Tidak lagi pada langit hampa, melainkan pada tatapan dalam Sasa. "Dulu, papa adalah sosok yang gila kerja. Bahkan, dia gak punya waktu buat nemenin mama cek kesehatan jantung ke rumah sakit. Dan sikapnya berubah sejak menikah sama mama Mahesa. Dia emang masih suka kerja keras, tapi gak segila dulu. Sekarang, keluarga adalah prioritas buat papa."

Flimflam [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang