Permainan kata, pertanyaan yang mengoceh.
•••
Dengan sangat tergesa, Sasa turun dari motor ojek online. Setelah mengembalikan helm dan membayar jasa, Sasa segera berlari menuju gerbang. Hanya telat 3 detik, Sasa tidak punya kesempatan untuk masuk sekolah tanpa lolos dari hukuman.
"Pak, izinin saya masuk, dong, Pak. Saya cuma telat dikit, lho. Pelajaran pertama saya matematika. Sekali saya juga gak pernah telat sebelumnya, 'kan, Pak? Jadi, kasih izin saya masuk, ya?" Sasa berusaha membujuk Pak Wahyu, satpam sekolah yang bagian jaga hari ini. "Saya traktir makan, deh, Pak. Gimana?"
Pak Wahyu menggeleng mantap. "Maaf, Neng, saya gak terima sogokan. Neng tetap harus dihukum," cetus beliau penuh penegasan. Lalu, beliau mengedarkan pandangan pada 5 siswa lainnya yang berdiri di depan gerbang dengan wajah memelas. "Kalian tunggu di sini, ya. Saya panggil guru yang bagian piket hari ini dulu."
Bahu Sasa langsung merosot saat Pak Wahyu berjalan menuju lobi. Dia berbalik, dan langsung terkejut saat mendapati Mahesa sedang duduk di atas jok motornya dengan wajah datar. "Lho, lo telat juga? Kenapa?" Sasa langsung berjalan mendekati Mahesa. "Kalau gue sih masih bisa masuk akal, rumah gue jauh. Sedangkan lo cuma butuh sekitar 2 menit dari rumah ke sekolah."
Mahesa melirik Sasa dari sudut matanya. Dia berdeham, berusaha terlihat normal. "Gue bangun kesiangan," jawabnya dengan cepat. "Lo sendiri? Kenapa bisa telat? Biasanya lo datang pagi ke sekolah."
"Sama, bangun kesiangan," jawab Sasa sambil memalingkan pandangannya.
Saat ini Sasa dan Mahesa sedang berusaha menyembunyikan fakta yang menjadi alasan mereka bangun kesiangan sehingga terlambat ke sekolah. Sasa merasa bodoh sudah asal memeluk Mahesa sore kemarin. Ya, niatnya memang sangat baik, ingin meredakan amarah Mahesa dan membuatnya lupa akan kata-kata kejam kakaknya. Namun, Sasa jadi tidak bisa tidur karena jantungnya berdebar kencang saat kejadian itu kembali terbayang.
Kenyataannya, itu pula yang dirasakan Mahesa tadi malam. Dia tidak bisa berhenti mengingat kejadian pelukan yang kurang dari 1 menit itu. Mahesa baru bisa tidur jam 2. Jadi, wajar jika dia bangun ke siangan dan berakhir dengan hukuman lari keliling lapangan seperti sekarang.
"Ya ampun, ini ... masih terlalu pagi buat ... keringetan. Hah! Huh!" Di saat napas sudah sulit, Sasa masih memiliki tenaga untuk protes. "Lagian, tadi ... kita cuma telat ... beberapa detik, lho. Gak perlu ... dihukum kayak gini segala. Huh!"
"Daripada tenaga lo dipakai buat ngomel, mending buat lari," sahut Mahesa dengan santai. Berbeda dengan Sasa yang sudah kembang kempis hidungnya, Mahesa terlihat menikmati hukuman ini. "Anggap aja olahraga. Lo jarang gerak juga, 'kan?"
"Mana ada olahraga pakai rok kayak gini, Mahesa!" bentak Sasa dengan mata yang sudah mencuat setengah. "Lagian, dosa tahu bikin anak orang susah pagi-pagi begini. Gue jadi gak bisa ikut kelas matematika, nih. Emosi gue jadinya."
Sontak saja Mahesa terkekeh mendengar nada bicara Sasa meninggi. Wajahnya yang sudah menampilkan kegalauan, justru terlihat lucu di matanya. "Sini, gue bantu bawa tas lo. Biar emosi lo enggak terlalu emosi." Atas inisiatif sendiri Mahesa mengambil tas Sasa, kemudian berlari mendahului gadis itu.
"Mahesa, tunggu!" teriak Sasa sambil menambah kekuatan kakinya.
Sekitar 7 siswa harus rela menjadi tontonan orang-orang yang melewati lapangan. Mereka berlari sebanyak 20 kali keliling, cukup membuat napas putus-putus dan keringat membasahi pelipis mereka. Dan setelah disiksa di lapangan basket, akhirnya Sasa dan Mahesa memilih untuk mampir ke kantin terlebih dahulu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Flimflam [Tamat]
Teen FictionKhaesa Valeria hanya gadis biasa yang baru mengenal indahnya cinta di masa SMA. Meski sosok Ivano adalah pacar yang sedikit keras, tetapi Sasa tetap mencintai laki-laki yang 2 tahun lebih tua darinya. Dibentak, dimaki, sampai disakiti secara fisik j...