3. Taciturn

2.1K 218 7
                                    

Orang yang pendiam dan tidak banyak bicara.

•••

Rupanya, bukan hanya Alin yang bersemangat untuk menjodohkan Sasa dengan Mahesa, Zidan juga tak kalah bersemangatnya. Siang ini, dia kembali menarik Mahesa ke meja kantin yang sudah ditempati Sasa dan Alin. Laki-laki itu sudah menolak, dengan dalih akan bergabung dengan anak kelas yang lain saja. Namun, Mahesa tidak bisa menolak karena piring makan siangnya sudah lebih dulu dibawa Zidan dan disimpan tepat di samping tempat duduk Sasa.

"Kemarin kalian gak kehujanan, 'kan?" tanya Alin sambil melirik Sasa yang sedang sibuk dengan ponselnya.

"Kehujanan," sahut Sasa tanpa mengalihkan pandangannya. Setelah menyelesaikan urusannya di ponsel, Sasa segera menyimpan benda pipih itu ke saku rok seragam. "Dikit doang, sih. Hujan turun pas kita udah sampai di rumah gue." Dan sekarang, Sasa sudah siap mengangkat makan siangnya. "Lin, novelnya udah keluar, lho. Udah ada di PIM juga. Ke sana sekarang, yuk?"

Benar, Alin dan Sasa memang pecinta roman picisan. Namun, kali ini Alin harus mengalah terlebih dahulu untuk mendukung kisah romansa sahabatnya. "Hari ini gue mau belajar sama Zidan. Gue masih gak paham sama materi Koligatif Larutan." Alin melirik Zidan, memberi kode supaya ucapannya barusan didukung.

"Oh, iya. Hari ini Alin sama gue dulu, Sa," imbuh Zidan, berusaha memperkuat perkataan gadis pujaannya itu. Lalu, ia melirik Mahesa yang sudah menghabiskan setengah porsi nasi gorengnya hanya dalam waktu yang singkat. "Bukannya lo tadi bilang mau ke Gramedia, Sa? Mau beli sketchbook, 'kan?" Perkataan Zidan ini tidak mengada-ada, tadi pagi Mahesa memang mengajaknya pergi ke Gramedia. "Ya udah, bareng aja kalau gitu. Toh, tujuan kalian juga sama."

Masih dengan mulut yang penuh dengan nasi goreng, Mahesa melirik Sasa. Gadis itu melotot pada Zidan, jelas tidak setuju dengan idenya. Hanya saja, Mahesa teringat dengan pesan Ivan kemarin sore. "Kalau lo gak keberatan, kita bisa pergi bareng."

"Hah?" Sasa langsung kaget dengan perkataan Mahesa. Baiklah, memang laki-laki itu baik. Namun, mengingat Mahesa yang sangat pendiam dan irit bicara, Sasa hanya tidak mau membuat laki-laki itu tidak nyaman. "Emang gak apa-apa kalau gue nebeng? Kalau lo gak suka juga gak apa-apa, kok. Gue bisa naik ojol aja. Atau besok aja, sama Alin."

"Pulang sekolah besok gue langsung pergi ke Bogor, Sa. Mau jenguk nenek gue yang lagi sakit." Ini juga bukan bualan semata. Alin memang sudah janjian dengan kedua orang tuanya. Mereka akan datang menjemput ke sekolah dan langsung berangkat ke Bogor untuk mengunjungi nenek dari mama Alin. "Kenapa mesti repot kalau ada yang gampang, Sa? Lo tinggal pergi bareng Mahesa aja, malah dibikin pusing."

Lagi, Mahesa melirik Sasa sekilas. Hanya sekolah 3 detik, tetapi pandangan mereka sempat bertemu. "Gue gak keberatan."

Meski tidak enak hati, akhirnya Sasa menyetujui ide gila Alin dan Zidan untuk membuatnya pergi bersama Mahesa. Sasa akui, laki-laki itu memang terlalu baik untuk takaran baru kenal. Karena sifat mereka yang bertolak belakang saja yang membuat Sasa tidak enak hati. Takutnya, Mahesa ini risi, terpaksa menerima kehadiran Sasa di dekatnya.

"Lo sengaja, 'kan?" tanya Sasa sejurus kemudian saat ia baru saja mendaratkan bokongnya di kursi kelas. Ia semakin kesal saat respons yang diberikan Alin hanya sebatas kerutan di dahi. "Lo sengaja bikin gue pergi sama Mahesa. Iya, 'kan? Pakai sekongkol sama Zidan segala lagi!"

Alin terkekeh karena perkataan Sasa itu. "Iyalah, harus kompak dari masa PDKT, dong. Biar pacarannya nanti enggak kayak lo sama si Ivan." Alin menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi, membiarkan perut melakukan tugasnya untuk mencerna makanan yang baru disantapnya. "Setengahnya emang hasil rencana gue sama Zidan, setengahnya lagi atas kehendak Tuhan. Lo mau ke PIM, Mahesa juga sama. Itu namanya jodoh."

Flimflam [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang