Sesuatu yang bisa membuat kamu lupa akan kesedihan atau penderitaan.
•••
"Aku udah kenyang," ucap Ivan sembari menghindari sendok yang ada di depan mulutnya. "Sa, udah."
Namun, Sasa tetap pada pendiriannya. Dia tetap mengarahkan sendok itu dan melotot pada Ivan. "Baru setengahnya, Van. Cepet, buka mulut kamu, supaya bisa langsung minum obat." Sasa mengembuskan napas kasar saat Ivan tak kunjung membuka mulut. "Jadi, gak mau? Ya udah, aku pergi kalau gitu."
"Jangan!" Ivan menahan pergelangan Sasa. Lalu, dia menyantap bubur itu dengan sendirinya. "Udah, nih. Jangan pergi."
Sasa tidak menyahut. Dia hanya fokus kembali menyendok bubur yang ada di tangannya, siap kembali menyuapi Ivan. Dia sama sekali tidak mempedulikan tatapan dalam Ivan ataupun Guntur. Sasa lebih banyak menunduk, memasang wajah tanpa ekspresi, dan bicara dengan nada datar.
"Kayaknya udah cukup, deh, Sa. Jangan dipaksa buat lanjut makan, nanti takutnya malah keluar lagi. Yang penting, udah ada yang masuk, sekarang bisa langsung minum obat," ucap Guntur seketika. Sedari tadi dia hanya diam, memperhatikan interakis sepasang kekasih yang sedang dalam masalah.
Tidak melakukan perdebatan apa-apa, Sasa langsung menyimpan mangkuk bubur ke atas nakas dan segera menyiapkan obat untuk Ivan. "Nih, minum obatnya. Aku ke belakang dulu, simpen mangkuknya dulu."
"Sini, biar gue aja yang simpen. Lo di sini aja, pastiin ini anak minum obatnya." Guntur langsung menyambar mangkuk itu dan bergegas keluar dari kamar Ivan. Instingnya berkata bahwa mereka perlu ruang untuk bicara berdua.
Seperginya Guntur, justru hanya ada keheningan di antara Sasa dan Ivan. Sasa lebih banyak menunduk, menghindari tatapan Ivan. Dia juga tidak banyak bicara seperti biasanya, lebih memilih membisu dan sibuk dengan pemikirannya sendiri. Dan itu sukses membuat perasaan Ivan tidak karuan.
"Kamu masih marah sama aku, ya?" tanya Ivan sejurus kemudian. Dia membiarkan Sasa mengambil alih gelas dari tangannya untuk disimpan ke atas nakas. "Sa, aku harus ngelakuin apa supaya kamu berhenti marah sama aku, supaya kamu mau maafin aku? Kasih tahu aku, apa pun itu, bakal aku lakuin."
"Jangan mikirin apa-apa dulu. Mending sekarang kamu tidur aja, supaya obatnya bisa bekerja optimal." Sasa menarik selimut dan menutupi tubuh Ivan sampai dada. Pergerakannya berhenti saat tangannya dicekal. Saat itulah Sasa mengangkat kepalanya untuk bertukar pandang dengan Ivan. "Kita bahas masalah itu nanti aja. Sekarang kamu harus istirahat dulu, supaya cepet sembuh."
Ivan menggelengkan kepala, menolak perintah Sasa. "Aku enggak bisa istirahat kalau masalah di antara kita belum selesai." Pegangan tangannya kian mengerat, pandangan matanya juga kian dalam. "Aku minta maaf, Sa. Aku benar-benar khilaf malam itu. Aku janji, aku enggak akan kayak-"
"Berhenti kasih aku janji palsu, Van. Kamu selalu kayak gini. Kamu ngelakuin kesalahan, minta maaf sambil kasih janji ini itu, tapi akhirnya tetep ngelakuin kesalahan yang sama. Dan begonya, aku masih aja mau maafin kesalahan kamu yang selalu sama itu." Sasa menarik tangannya secara paksa.
"Sekarang aku sungguh-sungguh sama janji aku, Sa. Kamu lihat sendiri aku sampai sakit kayak gini karena jauh dari kamu. Aku enggak mau kehilangan kamu. Aku janji enggak akan nyakitin kamu lagi, enggak akan bikin kamu nangis lagi. Tapi aku mohon, jangan tinggalin aku."
Tidak ada jawaban yang terucap dari bibir Sasa. Dia malah membisu dan menatap Ivan penuh selidik, berusaha mencari kebohongan di mata laki-laki itu. Namun, nihil. Tidak ada dusta di sana, justru kesungguh-sungguhanlah yang yang terpatri dengan jelas. Demi apa pun, Sasa tidak pernah melihat Ivan seperti ini. Dia terlihat memohon dan tidak berdaya. Berbeda dengan Ivan yang biasanya arogan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Flimflam [Tamat]
Teen FictionKhaesa Valeria hanya gadis biasa yang baru mengenal indahnya cinta di masa SMA. Meski sosok Ivano adalah pacar yang sedikit keras, tetapi Sasa tetap mencintai laki-laki yang 2 tahun lebih tua darinya. Dibentak, dimaki, sampai disakiti secara fisik j...