20. Determination

1.4K 150 7
                                    

Kemampuan untuk terus melangkah tidak peduli sesulit apa pun hal itu.

•••

Sebuah kebohongan akan ditutupi oleh kebohongan lainnya.

Sasa baru bisa membuktikan kebenaran kalimat itu saat ia berdua 17 tahun dan terjebak dalam dua hubungan rumit. Berpacaran dengan laki-laki yang berulang kali menyakitinya dan diam-diam menjalin kasih dengan laki-laki yang selalu memperlakukannya dengan baik. Jujur, Sasa takut kebiasaan berbohong ini semakin mendarah daging hingga akhirnya menjadi bagian dari karakternya. Namun, apa mau dikata, Sasa masih perlu berbohong untuk menyelamatkan nyawanya.

"Aku gak bisa ke Pegangsaan, Van. Ada kerja kelompok sama Alin malam ini." Sebuah alasan kuno saat Sasa diajak Ivan ke markas Ligoni. Padahal, dia menonton film dengan Mahesa.

"Gimana kalau kita perginya besok aja? Hari ini aku mau ikut kelas zumba sama oma." Sasa sampai membawa nama omanya untuk menolak ajakan kencan Ivan pada malam Minggu.

"Badan aku sakit semua, dari tadi aku cuma tiduran di kamar. Kayaknya mau datang bulan, deh. Gak apa-apa kalau kamu datang sendiri, 'kan?" Ini saat Sasa diminta Ivan untuk menemaninya kerja kelompok. Untung saja, Ivan tidak tahu siklus haid Sasa. Jadi, alasan itu aman.

Dan sekarang, lagi, Sasa dituntut keadaan untuk berbohong pada Ivan. Kali ini, dia benar-benar tersudutkan dan membutuhkan kebohongan cerdas untuk menutupi hubungannya dengan Mahesa. Otaknya bekerja ekstra, memilah ide-ide cemerlang yang akan paling masuk akal an tidak menimbulkan kecurigaan berlanjut.

"Oh, itu?" Sasa melewati Ivan dan menatap camilan di atas meja. Dia tersenyum lebar dan berdiri di samping laki-laki itu. "Lihat, deh. Cowok yang ini tuh pacarnya Alin, namanya Zidan. Kebetulan kemarin HP Alin lowbat, jadi dia pakai HP aku buat foto pacarnya."

"Berarti kemarin kamu juga nonton tim basket latihan, dong? Buat apa?" Ivan terus menyelidiki Sasa.

"Aku gak ada di sana, aku lagi ekskul matematika. Kan, jadwalnya sama. HP aku emang sengaja dipinjem sama Alin," jawab Sasa. Dengan gerakan penuh hati-hati, dia mengambil alih ponselnya dan mendudukkan diri di sofa. "Kamu kenapa nanya gini? Gak percaya sama aku?"

Ivan langsung gelagapan. "Ah, enggak. Bukan gitu maksud aku. Aku cuma ... emm ...."

"Oh, beneran gak percaya." Sasa mengangkat alisnya dan menyeruput es teh yang dia buat.

Cepat-cepat Ivan mendudukkan diri di samping Sasa dan menggenggam tangan kiri gadis itu. "Aku gak curiga, Sayang. Aku cuma ... takut kamu berpaling. Aku tahu, perbuatan aku sama kamu dulu sangat gak baik. Tapi, aku udah berusaha buat memperbaiki semuanya. Aku gak sanggup kalau kamu berpaling dari aku. Apalagi kalau cowok itu adalah Mahesa." Pegangan tangan Ivan kian mengerat. "Tapi, beneran, aku enggak curiga sama kamu. Aku cuma takut."

"Iya, gak apa-apa," jawab Sasa seadanya.

Perlahan, Sasa mengembuskan napas lega. Hampir saja dia ketahuan memiliki hubungan khusus dengan Mahesa hanya lewat sebuah foto yang ada di ponselnya. Kemarin Sasa memang sengaja menemani Mahesa latihan basket karena ekskul matematika libur. Dia iseng mengambil gambar laki-laki itu. Untung saja Zidan ikut terpotret sehingga bisa menyelamatkannya kali ini.

Sore ini Sasa harus terjebak dengan Ivan dan buku latihan try out. Otaknya yang sudah mengepul karena pelajaran fisika, kini semakin dikuras dengan materi kimia. Rupanya, Ivan tidak main-main untuk meminta Sasa masuk kampus yang sama dengannya.

"Jadi, kamu udah tahu mau masuk jurusan apa?"

Sasa menggeleng. "Belum."

Sembari menyimpan kembali cangkir teh ke atas meja, Ivan membuang napas kasar. "Kok, belum tahu, sih? Kamu udah kelas 12, bentar lagi juga semester 2, masa belum tahu mau jurusan apa? Tanya sama hati kamu, deh, kamu lebih suka kedokteran atau perbankan."

Flimflam [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang