Bab Duapuluh Satu

1.2K 154 17
                                    

Bab Duapuluh Satu

"Manusia yang hebat tidak hebat sejak lahir, tapi menjadi hebat saat ia tumbuh."

Mario Puzo

“Kalian duluan aja, gue masih mau maskeran dulu.” Kaviar menunjukkan sekotak masker pada Rafi. “Gue mau tampil glowing pas naik ke panggung nanti. Yahh, meski pun gue naiknya sebagai anak paling nakal sesekolah, seenggaknya mereka harus tau kalau siswa paling nakal sesekolah itu gantengnya kebangetan.”

Rafi memutar bola mata, terbiasa dengan kenarsisan Kaviar.

“Ngapain berdiri terus? Sana buruan pergi, ortu lo lagi nunggu tuh.” Kaviar menghela napas. “Gue bisa kalem karena nggak perlu nunggu orangtua.”

Rafi menyipitkan mata. “Lha, suratnya nggak lo kasih ke Om Dani sama Tante Diyah?”

“Suratnya gue buang. Lagian, kalau gue ngasih tau mereka, yang ada mereka bakalan malu. Lo juga tau kalau Pak Kepsek sama guru BK suka banget mempermaluin muridnya sendiri depan banyak orangtua lain.”

“Eh, bukannya Bunda lo sama Elang juga dateng? Lo bisa—“ Rafi langsung terdiam saat Kaviar menatapnya dengan dingin. “Oke, gue pergi dulu kalau gitu. Jangan lama di sininya.”

Saat Rafi pergi keluar kelas, Kaviar langsung menajtuhkan kepalanya ke atas meja. Keningnya berkerut dalam, dari tadi kepalanya sudah sangat sakit tapi dia tidak bisa menunjukkanya karena ada Rafi. Dia pikir sakitnya akan menghilang setelah minum obat seperti biasa, tetapi sakitnya malah makin bertambah. Dia bahkan tidak bisa menggerakkan sebelah kelopak matanya.

Kaviar memaksakan diri untuk beranjak pergi, langkahnya terhuyung-huyung. Dia merasa beruntung karena bisa pergi ke aula tanpa terjatuh sedikit pun.

“Kav!” seru Bondan seraya melambaikan tangannya.

Dalam hati Kaviar tersenyum, berjalan ke arah Rafi dan Bondan lalu duduk di kursi yang sudah mereka siapkan.

“Lo baik-baik aja?” tanya Bondan berbisik. “Muka lo pucat banget.”

“Gue baik-baik aja.” Kaviar mengalihkan perhatian ke atas panggung kecil, di atas sana Pak Kepala Sekolah sedang bicara mengenai kemajuan siswa. Kepala Kaviar makin sakit melihatnya.

Cukup lama Pak Kepala Sekolah bicara sampai akhirnya beliau mengumumkan tentang sekolah yang berhasil mendapat predikat sebagai sekolah paling bersih se-Jakarta berkat anak-anak yang sering melanggar aturan.

Ketika namanya dipanggil, dengan sangat terpaksa Kaviar pergi ke atas panggung bersama anak-anak kelas 12 lainnya, termasuk Liam yang juga sama seringnya dihukum oleh guru BK. Dari kejauhan dia melihat Bunda tengah duduk di barisan kursi khusus orangtua, menatap langsung ke arahnya, sontak saja Kaviar memalingkan wajah.

“Mereka semua berkontribusi besar dalam—“

Kaviar tidak bisa mendengar dengan baik, telinganya berdengung. Dia bahkan tidak bisa mendengar gumaman Liam yang berdiri tepat di sampingnya. Samar dia mendengar Pak Kepala Sekolah menyuruh para orangtua murid untuk berdiri agar bisa melihat wajah anak mereka baik-baik dan sejelas-jelasnya.

“Hahh, gue pasti diomelin lagi.” Gumaman Liam akhirnya bisa didengar Kaviar dengan baik.

Kaviar mengangkat kepalanya, dari empat orang yang naik ke atas panggung, hanya tiga orangtua yang berdiri. Sekilas pandangannya tertuju pada Bunda yang masih tetap duduk tanpa berniat berdiri. Dalam hati dia berdecak, seharusnya dia benar-benar berhenti berharap.

Karena Pak Kepala Sekolah mengenal masing-masing orangtua murid yang naik, dia mengalihkan perhatian pada Kaviar. “Orangtuamu tidak datang?” tanyanya pelan.

SOMETIMESTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang