Bab Delapanbelas
“Ada hal yang diraih seseorang dengan sangat mudah, namun disisi lain ada orang lain yang sedang berjuang mati-matian untuk mendapatkannya."
Clouds
“Mas, berhenti. Jangan memukuli Kaviar lagi.” Mama menarik tangan Papa. “Kita lagi di rumah sakit.”
Papa menepis tangan Mama. “Anak nggak berguna ini harus disiplinkan. Sudah saya peringatkan dari dulu-dulu supaya dia menjaga Reyhan, tapi apa yang dia lakukan. Malah mencelakakan adiknya sendiri.”
Mama kembali memegang tangan Papa saat Papa hendak memukul Kaviar yang sudah babak belur. “Dengerin dulu penjelasan Kavi. Jangan langsung memukulinya begitu.”
“Halah, sudah jelas dia yang salah.”
“Saya—“
“Diam kamu!” Sekali lagi Papa memukul Kaviar. “Orang seperti kamu tidak berhak bicara. Lihat, gara-gara kamu penyakit Reyhan kambuh, sampai sekarang belum sadar. Kamu saya sekolahkan bukan untuk ikutan olimpiade, saya menyekolahkanmu untuk menjaga Reyhan. Tidak lebih.”
Seluruh tubuh Kaviar terasa lemas, tangannya yang terkepal perlahan mengendur saat mendengar kalimat terakhir Papa. Seluruh sisa kekuatan yang dimiliknya perlahan mengikis lalu hilang, hampir saja dia terjatuh andaikan Mama tidak memegang bahunya. Dia ingin mengatakan sesuatu namun rasa sakit di hatinya membuat lidahnya kelu.
“Jangan bicara sembarangan!” Mama menengahi. “Mas tenangkan dulu emosi kamu—“
“Seharusnya waktu itu kamu tidak menyuruh saya untuk membawa anak sialan ini ke rumah!” seru Papa menunjuk Kaviar. “Tidak ada gunanya mengurus anak ini. Dia hanya bisa menyusahkan orang lain. Tidak mandiri. Tahunya membuat orang celaka saja.” Papa berbalik. “Pergi. Dan jangan pernah kembali.”
Saat itu Kaviar tidak bisa berpikir apa pun, dia bahkan mengabaikan Mama ketika wanita paruh baya itu memanggilnya berulang kali. Dia hanya merasa hatinya tengah dicabik-cabik hingga berdarah. Kaviar ingin meredakan rasa sakitnya, namun dia tidak tahu bagaimana caranya.
Ketika Kaviar tiba di rumah dengan wajah babak belur dipukuli oleh Papa, Bunda langsung menyambutnya dengan amarah.“Dari mana saja?! Gara-gara kamu Elang didiskualifikasi.”
Kaviar memejamkan mata sesaat. Kenapa orangtua kandungnya sendiri malah peduli pada anak lain?
“Kalau saja kamu tidak tinggal di sini, hidup Elang akan baik-baik saja. Lihat sekarang dia terluka gara-gara kamu. Masa depannya tercoreng karena kamu.”
Kaviar menggigit ujung lidahnya, Papa menyalahkannya karena dia tidak bisa menjaga Reyhan, dan sekarang Bunda juga menyalahkannya karena Elang berantem dengan Panji hingga terluka? Apa Bunda sendiri tidak lihat kalau wajahnya babak belur begini? Apa Bunda tidak ingin bertanya kenapa dia babak belur? Apa Bunda tidak ingin tahu apa wajahnya sakit atau tidak? Kenapa tidak ada yang peduli padanya?
“Dari awal, kamu ini memang pembawa sial. Kamu—”
Kaviar menatap Bunda terluka, matanya memerah karena marah dan sedih. “Saya juga terluka,” katanya pelan.
“Kamu terluka atau tidak, semua itu bukan urusan saya. Tinggalkan rumah ini sekarang juga. Saya tidak ingin kamu mempengaruhi Elang lagi.”
Kaviar tersenyum ironis. “Papa mengusirku, apa Bunda juga harus mengusirku dari sini?” tanyanya pilu. “Kemana saya harus pergi?”
“Itu akibatnya untuk anak yang selalu membawa pengaruh buruk pada anak lain. Tanggung resikonya sendiri.”
“Kenapa Bunda nggak pernah peduli pada saya?” tanya Kaviar dengan nada terluka. “Papa nggak pernah menganggap saya ada, karena di mata Papa saya nggak lebih dari rasa bersalahnya.” Dia menelan ludah, air mata yang sedari tadi ditahannya perlahan mengalir membasahi pipinya yang terluka. “Bunda, selalu menganggap saya sebagai kesalahan, sebagai aib. Saya selalu berpikir, atas dasar apa Bunda menyalahkan saya? Apa salah saya?”
KAMU SEDANG MEMBACA
SOMETIMES
Teen Fiction"Kavi, aku tahu hidupmu nggak mudah. Aku tahu kamu yang selalu kalah dari keadaan. Aku tahu saat ini kamu sedang jatuh. Aku tahu kamu selalu merasa kesepian. Semua itu ... membuatmu kayak gini, kan? "Tapi, Kavi, sekarang ada aku. Kamu bisa pegang t...