Bab Tujuh

1.1K 121 10
                                    

Bab Tujuh

"Kami tidak bisa memperbaiki ini untukmu, tapi kami ada di sini untuk mendukungmu."

Kim Taehyung

"Apa saja yang kamu lakukan saat di sekolah, hah?!" teriak Papa setelah menampar pipi Kaviar hingga memerah. Dia menangkup wajah Reyhan yang memperlihatkan memerah di dahinya. "Lihat! Karena kamu tidak becus menjaganya, Reyhan jadi terluka begini."

Kaviar tidak mengatakan apa pun, kepalanya terus tertunduk. Dia sama sekali tidak keberatan dengan teriakan dan pukulan Papa, dia menunduk karena malu pada Mama. Padahal dia sudah berjanji pada Mama akan menjaga Reyhan dengan baik.

"Aku nggak apa-apa, Pa," kata Reyhan pelan.

"Jangan membela kakakmu! Dia salah karena tidak bisa menjagamu!"

"Ini cuma luka kecil. Nggak sakit sama sekali."

"Reyhan!" bentak Papa, kedua matanya menatap Kaviar. "Sekali lagi saya melihat kamu tidak becus menjaga Reyhan, siap-siap kehilangan segalanya."

Kaviar melengos pergi meninggalkan ruang keluarga. Dia melemparkan tasnya ke atas meja hingga isinya berhamburan keluar. Kertas soal Fisika yang diberikan Elang tadi menarik perhatiannya, perasaan kesalnya makin besar.

"Kali ini Pak Tono beneran percaya kalau lo ngerjain soal-soal ujian tanpa nyontek. Makanya, dia milih lo sebagai wakil sekolah buat olimpiade Fisika nanti."

"Gue? Wakil olimpiade? Gimana bisa?!"

"Soal yang gue suruh kerjain itu sebenernya tes seleksi yang bakal ngewakilin sekolah buat olimpiade Fisika. Diantara semua orang yang ngerjain, cuma lo yang nilainya paling tinggi."

Kaviar melongo, mengingat lagi soal yang diberika Elang waktu itu. Kalau tahu akan begini jadinya, dia tidak akan tergiur oleh tawaran cowok itu. "Sori. Tapi gue nggak minat ikutan olimpiade."

Sebelah alis Elang terangkat. "Meski lo nggak mau, Pak Tono udah milih lo."

Kaviar berdecak, "Pokoknya gue nggak mau. Enak aja ikutan olimpiade. Kalau gue menang gimana entar?"

Elang memutar bola mata saat mendengar kesombongan Kaviar. Orang lain biasanya menolak karena takut kalah, cowok gila satu itu malah bilang takut menang. "Kalau lo menang, kesempatan buat dapet beasiswa makin tinggi."

Kaviar menatap Elang tidak percaya. "Njir, lo baca catatan gue lagi, ya?! Sialan lo!"

"Ini kesempatan bagus buat lo." Elang tidak terpancing emosi, sedari tadi wajahnya tetap datar. "Jangan nyia-nyiain bakat lo. Seenggaknya jangan biarin Bunda sama Om Herman ngeremehin lo terus."

Seluruh tubuh Kaviar berubah kaku.

"Lo paling tau kalau gue benci sama orang yang suka ngeremehin dan mengabaikan anak mereka sendiri." Elang menatap langsung ke mata Kaviar. "Itu juga yang bikin gue nggak bisa nerima Bunda lo sampai sekarang."

Sejujurnya Kaviar punya banyak kosa kata untuk menyangkal ucapan Elang, namun entah mengapa kali itu dia tidak mampu berkata apa pun. Seolah dia sudah kalah duluan.

Lamunan Kaviar buyar saat ponselnya bergetar tanpa henti. Bayu mengiriminya banyak pesan, ketika dia hendak membalas pesan tersebut, tiba-tiba ada telepon masuk dari Ayah. Sesaat dia menimbang-nimbang sebelum akhirnya menjawab telepon.

"Halo, Yah?"

"Ya Tuhan, Kaviar Galaxy Aswatama!" seru Ayah saat mendengar suara Kaviar. "Kenapa baru dijawab teleponnya, hah? Ayah nelepon kamu dari kemarin!"

SOMETIMESTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang