Bab Duapuluh

1.2K 132 13
                                    

Bab Duapuluh

"Meskipun terluka karena keluarga, pada akhirnya, orang yang berdiri di sisimu hingga akhir adalah keluarga."

Reply 1988

"Njir, kenapa kalian malah di sini?!" seru Liam heran saat melihat Rafi dan Bondan sedang duduk santai kantin belakang sekolah.

Rafi dan Bondan sontak menatap Liam bingung. Apa cowok itu kesal mereka duduk di wilayah mereka? "Ya makanlah, apalagi?"

"Makan?" Liam semakin heran.

"Elahh, lo nggak suka kita nongkrong di sini?!" Rafi mencebik. "Kalau bukan Kavi yang ngajak, kita mana bakalan mau nongkrong di sini."

Liam tertawa pelan lalu menepuk bahu Rafi. "Pergi sana. Si Kavi nggak bakalan dateng ke sini."

"Tau dari mana?" Tadinya Bondan ingin lanjut bermain game saat Liam menjawab pertanyaannya.

"Si Asraf lewat kantin utama barusan. Dia liat Kavi sama adeknya berantem."

Sontak Rafi dan Bondan menatap Liam penuh pertanyaan. "Adeknya yang mana?"

Kening Liam berkerut samar. "Yang suka pingsan itu. Lupa namanya."

Kemudian, secepat kilat Rafi dan Bondan berlari kentin utama sekolah. Mereka menerobos kerumunan orang-orang sekitar yang juga sedang melihat pertengkaran kakak-adik itu. Mereka hendak menarik Kaviar dari tengah-tengah kerumunan saat mendengar teriakan Reyhan.

"Gue nggak butuh bantuan lo!" Reyhan menarik kerah seragam Kaviar. "Gue muak dengan segala perlindungan lo."

Jika yang berteriak sekarang adalah orang lain, sudah pasti Kaviar tidak akan segan-segan untuk memukul orang itu tanpa ampun, namun sekarang yang bicara sembari menarik kerah bajunya adalah Reyhan. Adiknya.

"Lo pikir gue senang dengan apa yang lo lakuin buat gue? Nggak!" teriak Reyhan lagi, napasnya terengah. "Gara-gara lo, gue sering disebut pecundang! Kalau aja waktu itu lo nggak bersikap sok pahlawan, Panji nggak bakalan ngebully gue terus! Semua ini salah lo!"

"Rey." Kaviar menyentuh tangan Reyhan untuk menenangkan cowok itu agar penyakitnya tidak kambuh. "Tenang."

"Diam, sialan!"

"Kenapa mereka bisa berantem?" tanya Rafi, tidak lagi bisa menahan kesabarannya. Kenapa situasinya malah menjadi seperti ini? Bukannya tadi Kaviar menyuruh mereka pergi ke kantin belakang lebih dulu, kenapa sekarang cowok itu malah berantem dengan Reyhan?

Cowok yang dari tadi berdiri menyaksikan perkelahian kakak-adik itu menatap Rafi. "Tadi Panji ngedatengin Reyhan terus bilang kalau Reyhan itu pecundang yang bisanya cuma berlindung dibawah ketiak Kaviar."

Rafi menggertakkan gigi, lagi-lagi si sialan Panji. Sepertinya dia harus membuat perhitungan dengan cowok sialan itu.

"Mulai sekarang, jangan pernah ngelindungi gue lagi. Lo bukan kakak kandung gue. Kita cuma sodara tiri. Nggak perlu sepeduli itu."

Kepala Kaviar langsung blank, beberapa kali dia mengerjapkan mata, namun dia hanya bisa menagap Reyhan dengan pandangan kosong. "Apa?"

"Lo bukan kakak gue! Gue nggak butuh sodara kayak lo!" Reyhan terengah. "Kenapa nggak sekalian aja lo menghilang dari sini biar semuanya bisa berjalan normal. Kalau lo pergi Mama nggak perlu berantem lagi sama Papa, kalau lo pergi, Rayna nggak bakalan nolak perasaan gue!"

Untuk melampiaskan amarahnya, Reyhan mendorong Kaviar sekuat tenaga hingga dahi cowok itu terbentur sudut meja kantin. Tanpa menoleh ke belakang, Reyhan berbalik pergi.

SOMETIMESTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang