Bab Sebelas

1.1K 124 4
                                    

Bab Sebelas

"Kami akan mengembalikan harapan lo. Jadi, tetap tegar sampai gue kembali. Gue pasti ... bakalan ngasih lo waktu buat istirahat."

Karsa Benjamin

"Kuncinya. Sesuai permintaan lo, kemarin ... makasih udah yakinin Dea buat nerima gue." Devon memberikan kartu pada Kaviar.

Kaviar menerima kartu tersebut dengan senang hati. "Thanks, Bang. Lagian gue mana tega liat lo nangis semaleman."
Devon mendelik. "Sialan. Gue nggak akan nangis!"

Kaviar tertawa. "Moga lo langgeng sampai nikah. Jangan putus. Kalian saling cinta, nggak punya halangan juga. Jangan sia-siain keadaan yang mendukung kalian buat pacaran."

"Tenang. Gue pasti nggak bakalan ngelepasin Dea!" Devon menatap Kaviar. "Sebenernya itu bukan apartemen punya gue, tapi punya temen gue."

Kaviar terkejut. "Hah, punya temen lo? Kenapa dikasih ke gue?!"

Devon memutar bola mata. "Nggak papa, lagian yang punya lebih sering tinggal di luar negeri, kalau pulang pun dia tinggalnya di hotel atau kalau nggak di kantor."

"Tapi--"

"Pemiliknya nggak keberatan lo tinggalin. Lagian, semenjak temen gue kuliah, apartemennya kosong sampai sekarang. Pas dia tau lo butuh tempat tinggal, dia langsung ngasih apartemennya."

Kaviar tersenyum. "Makasih banyak, Bang. Gue ... mungkin bakalan lama tinggalnya. Gue ..."

Sebelah alis Devon terangkat, sama sekali tidak menyadari ekspresi Kaviar yang mendadak berubah sendu. "Selama apa pun dia nggak keberatan. Buat dia, itu cuma properti kecilnya. Jangan sungkan. Lagian, kalau mau dia bisa beli rumah yang lebih gede."

"Hm."

"Kav," panggil Devon. "Lo nggak betah tinggal bareng Om Herman?"

"Kenapa lo nanya itu?" Seolah mengerti sesuatu, Kaviar mengedikkan bahu. "Soal apartemen ini? Gue udah pikirin, pas kuliah nanti gue mau tinggal sendiri."

"Gue tau lo juga nggak betah tinggal bareng kita." Devon melanjutkan.

"Jangan ngomong sembarangan! Siapa yang nggak betah? Lagian, kan, udah ada jadwalnya. Enam bulan di bareng Papa, enam bulan lagi bareng Bunda."

Devon menghela napas panjang, dia berdiri. "Ayo, gue tunjukkin apartemennya. Nggak jauh dari sini."

Sebenarnya Kaviar tidak berencana pergi sekarang, tetapi karena Devon mengajaknya, dia menjadi tidak enak jika menolak. Maka dari itu, sambil berjalan kaki, dia pergi mengikuti Devon.

"Tawaran Nero gimana?" tanya Devon tiba-tiba. "Lo udah kasih jawaban? Nero bilang, dia ketemu sama lo di Starbucks."

"Oh, itu ..." Kaviar menganggukkan kepala. "Gue nggak sengaja ketemu Bang Nero sama Mas Karsa di Starbucks. Mereka ngasih gue proposal, tapi belum gue jawab."

Devon hanya bisa menggelengkan kepala. Begitu mereka keluar dari dalam lift, Nero tengah berdiri di depan pintu apartemen, menunggu mereka. "Njir, nggak ngerasa kepagian datengnya?"

Nero mengedikkan bahu. "Gue lagi ada waktu luang, dan kebetulan banget si Karsa lagi di Oslo. Jadi gue bisa tenang."

Kaviar menatap Nero dan Devon bergantian. "Kenapa Bang Nero di sini?"

"Sebagai wakil pemilik apartemen, tentu aja gue harus nyambut penghuni baru."

Kening Kaviar berkerut dalam. "Penghuni baru?" Matanya membelalak. "Jangan-jangan apartemen ini punya Bang Nero?!"

SOMETIMESTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang