Bab Enam

1.1K 117 7
                                    

Bab Enam

"Saya dapat menahan segala beban asalkan ada maknanya."

IQ 84

"Jadi kenapa lo manggil gue?" tanya Kaviar setelah duduk di kursi kosong.

"Yaelahh mukanya! Jangan natap gue gitu, dong!"

Kaviar hanya memutar bola mata lalu meminta air putih pada pelayan.

Kening Devon berkerut samar, kenapa adik tirinya itu malah memesan air putih bukannya minuman berasa? "Gue yang teraktir. Jangan minta air putih doang."

Kaviar melirik Devon setelah mengucapkan terima kasih pada pelayan. "Tenggorokkan gue lagi sakit, nggak bisa minum kopi."

"Manja." Devon mencibir tanpa memerhatikan wajah Kaviar yang terlihat sedikit pucat. "Ayah nanyain lo terus."

Kaviar tidak heran, dari kemarin lusa Ayah terus menghubunginya tanpa henti. Dia tidak menjawabnya karena tahu Ayah pasti akan memintanya berkunjung ke rumah bunda.

"Kenapa memangnya?"

Devon mengedikkan bahu. "Mana gue tau?! Pas gue tanya, Ayah malah bilang ini bukan urusan gue."

Kaviar menggaruk lehernya, jadi penasaran juga. "Terus kenapa lo manggil gue ke sini? Pakai acara neraktir segala." Matanya menyipit. "Jangan-jangan lo ada maunya, ya?"

Devon langsung tertawa seraya menepuk-nepuk kepala Kaviar sayang. "Duhhh adek gue yang satu ini makin pinter aja."

Kaviar menyingkirkan tangan Devon dari kepalanya. "Jauhkan tangan kotor lo dari kepala gue!"

"Dasar adek durhaka lo!"

"Bodo!" Kaviar mendesah panjang lalu menatap Devon serius. "Jadi apa? Gue nggak punya banyak waktu nih."

Devon memutar bola mata. "Dih, yang nggak sabar pengen ketemu lagi sama mantan." Tiba-tiba dia mendekati Kaviar. "Eh, Rayna beneran udah pulang dari Jepang?"

Kaviar menatap Devon malas. "Plis deh, Bang. Jangan bikin gue pergi dari sini sekarang juga."

Devon langsung mencibir. "Keliatan banget masih cinta sama Rayna. Tau gitu, kenapa malah diputusin?"

"Bang?"

Devon langsung tersenyum super lebar. "Sori, sori." Dia bertepuk tangan sekali. "El bilang lo jago maen gitar. Suara lo juga nggak jelek-jelek amat."

"Terus?"

"Rencananya Minggu depan gue mau nembak Dea."

"Mati, dong?" balas Kaviar sok tidak tahu.

"Serius, Kavi!" Devon meraih tangan Kaviar dan menggenggamnya begitu erat. "Gue mau lo nyanyi pas gue nembak Dea entar, biar suasananya jadi romantis."

Kaviar menarik tangannya. "Kebanyakan nonton sinetron, nih! Lo pikir Mbak Dea bakalan terkesan gitu sama acara nembak lo yang nggak banget? Yang ada lo bakalan langsung ditolak. Setau gue, Mbak Dea itu orangnya simple dan realistis."

"Nggak ada salahnya mencoba. Jangan bikin down gitu, dong."

Kaviar mendesah panjang. "Serah lo aja."

Devon langsung tersenyum sangat lebar. "Pokoknya Minggu depan lo harus kosongin jadwal lo. Entar jam sama tempatnya gue kasih tau."

"Kapan gue bilang setuju?"

"Mau setuju atau nggak, pokoknya lo harus bantu gue." Kemudian Devon mengirimkan judul lagu yang harus dinyanyikan Kaviar.
Kaviar melengos. "Gue nggak hapal chord sama liriknya. Yang biasa-biasa aja napa?"

SOMETIMESTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang