Bab Tigabelas

1.1K 118 6
                                    

Bab Tigabelas

"Not every mistakes deserves a consequence. Sometimes the only thing ot deserves is forgiveness."

Without Merit

"Ngapain liatin gue?" Mata Kaviar membelalak, ekspresinya berubah ngeri saat menebak tatapan Elang padanya. "Jangan-jangan lo jatuh cinta ya sama gue?!" Detik berikutnya dia mengaduh kesakitan saat kepalanya dipukul oleh Elang. "Wahh, sekarang udah berani ya mukul gue? Dasar adik durhaka lo!"

Elang mengabaikan gerutuan Kaviar. "Hari ini biar gue yang jemput."

"Tuh, kan? Astaga! Sejak kapan lo jadi baik begini?"

Elang memutar bola mata. "Selama ini gue selalu baik sama lo, lo nya aja yang nggak pernah nyadar."

Kaviar menatap Rafi dan Bondan. "Iya, tah? Perasaan cuma gue doang yang baik ke dia."

Rafi dan Bondan hendak menjawab tetapi mengurungkan diri saat melihat tatapan tajam Elang. "Kalian berdua baik, kok." Mereka cengengesan lalu pergi meninggalkan kantin sekolah dengan alasan tidak masuk akal.

"Kaviar." Panggilan Elang menarik perhatian Kaviar.

Kaviar menatap Elang lagi. "Apaan?"

"Hari ini gue bawa mobil. Jadi bisa sekalian bawain barang-barang yang lo butuhin. Kalau baju, di rumah masih ada banyak, baru juga."

Kening Kaviar berkerut dalam. "Kenapa gue harus bawa barang-barang gue? Rumah apaan?!" Seketika dia menepuk jidatnya sendiri saat mengerti maksud Elang. "Jangan bilang kalau bulan ini bagiannya gue tinggal bareng Bunda?"

Ada ekspresi kesal di wajah Elang. "Lo lupa?!"

Kaviar langsung menyengir lebar. "Bukan lupa, cuma nggak inget."

"Sama aja!"

"Iya, iya!" Kaviar mengalah. "Jangan jemput. Gue harus bicara dulu sama Papa. Entar gue ke rumah lo sendiri."

Elang tidak beranjak yang artinya dia tidak setuju. Bagaimana pun juga, jika bukan dijemput atau dihubungi oleh Ayahnya, Om Herman selalu menahan Kaviar selama mungkin, bukan karena Om Herman peduli, dia hanya tidak ingin Kaviar melupakan tanggung jawabnya untuk menjaga Reyhan.

Sebab itu, saat Elang ingat bahwa seharusnya Kaviar tinggal di rumahnya hingga enam bulan ke depan, tanpa berpikir apa pun dia langsung menemui Kaviar.

"Gue bakalan pergi." Kaviar mendesah saat Elang malah menyipitkan mata. "Lihat aja dan tunggu. Lagian, barang-barang yang harus gue bawa itu banyak banget. Kalau ditunggu entar lo dikacangin sama orang rumah."

"Gue nggak peduli."

Kaviar mencondongkan tubuhnya mendekati Elang. "Di rumah, ada Nenek sama Tante Hanin. Kalau mereka ngeliat lo, jamin mereka pasti ngomelin lo dan ngejek lo habis-habisan."

"Karena Ayah menikah dengan bunda lo?"

"Bukan. Karena lo adik gue." Kaviar berdiri. "Pokoknya, nggak perlu jemput. Gue pergi sendiri ke rumah." Baru beberapa langkah, dia berbalik menatap Elang. "Materi debat punya lo udah gue koreksi. Mau liat? Atau kirim lewat foto aja?"

Elang berdiri, matanya bisa perih jika terus-terusan melihat layar ponsel. "Gue bawa aja kalau lo bawa."

Sambil ditatap oleh banyak orang, Kaviar dan Elang pergi meninggalkan kantin sekolah.

"Olimpiadenya seminggu lagi, kan?" tanya Kaviar tiba-tiba.

"Hm." Elang melirik Kaviar. "Kenapa? Mau mundur?"

SOMETIMESTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang