Bab Dua

1.5K 121 5
                                    

Bab Dua

"Hidupmu adalah petualangan yang telah disiapkan untukmu. Kamu yang memiliki kekuatan super dan mampu bangkit dari keterpurukan. Aku yakin kamu pasti bisa."

Muthia Wirosastro

"Kamu belum ngasih tahu mereka?" Pertanyaan Bayu berhasil menarik perhatian Kaviar. "Karena kamu malah dateng ke sini bukannya sekalian pergi bareng Reyhan tadi."

Kaviar tersenyum. "Saya sudah coba ngasih tahu."

"Dan hasilnya?"

"Mereka nggak dengerin saya."

Bayu yang saat itu sedang memeriksa persediaan obat langsung terdiam. "Cari timing yang pas. Kamu nggak bisa mengabaikannya lagi, Kaviar. Cepat atau lambat kamu harus kasih tahu mereka."

Kaviar menatap langit-langit ruang UKS dengan pandangan kosong.

"Kamu butuh wali buat menandatangani surat persetujuan, kamu juga butuh biaya besar. Kalau nggak ngasih tahu orangtua kamu semuanya akan jadi sulit."

Kaviar menganggukkan kepala. "Saya akan coba. Tapi ... kalau kali ini saya gagal lagi." Dia terdiam. "Saya akan berhenti."

Bayu mengedikkan bahu. "Yah, saya nggak bisa maksa. Semua keputusan ada di tanganmu. Tapi saran saya, jangan menanggung semuanya sendiri. Kamu nggak akan mampu menahannya."

Kaviar tersenyum kecil, perlahan kesadarannya menghilang seiring rasa sakit mendominasi seluruh tubuhnya.

"Pak Dokter," panggil Bondan dengan suara rendah supaya tidak membangunkan Kaviar yang sedang tidur nyenyak. "Kavi nggak papa, kan?"

"Akhir-akhir ini Kavi sering sakit perut, dia juga sering memisan sampai wajahnya jadi pucat. Apa dia kena magh?"

Bayu menatap Rafi dan Bondan bergantian, setiap sepuluh menit sekali kedua cowok itu selalu datang ke ruang UKS untuk menanyakan keadaan Kaviar. Dia sampai heran, apa mereka tidak dimarahi oleh guru karena terlalu sering keluar kelas?

"Perutnya baik-baik saja. Kayaknya dia mulai bandel maksain makan pedas padahal lambungnya nggak kuat." Sekilas kedua mata Bayu menatap Kaviar. "Kalian sahabatnya Kaviar?"

Rafi dan Bondan menganggukkan kepala. "Iya.

"Kebetulan sekali, tolong diperhatikan Kaviarnya, ya. Jangan sampai dia makan yang pedas-pedas atau yang berat."

"Maksudnya yang berat gimana? Nggak boleh banyak-banyak gitu? Tapi kan kalau nggak habis ngegame seharian atau olah raga, porsi makan Kavi nggak banyak."

Bayu menggaruk lehernya yang mendadak gatal. "Maksudnya, jangan biarin Kaviar banyak makan makanan yang berlemak."

Bondan menganggukkan kepala. "Siip. Entar saya googling apa aja makanan yang dimaksud Pak Dokter."

"Hem. Terima kasih."

"Eng, Kavinya ... apa dia nggak perlu dibawa ke rumah sakit? Wajahnya pucat begitu."

Bayu mendesah, yah seharusnya Kaviar dibawa ke rumah sakit. Tapi sayangnya keadaan tidak memungkinkan. "Untuk saat ini nggak. Kaviar beruntung punya sahabat seperti kalian." Dia duduk di kursi. "Lebih baik kalian kembali ke kelas biar Kaviar saya yang jaga."

"Kalau gitu kami permisi dulu. Siang Pak Dokter." Bondan dan Rafi pergi dari UKS setelah mengangguk sekali pada Bayu.
Hari sudah sore ketika Kaviar membuka mata. Saat melihat ke arah jam dinding, buru-buru dia bangun meski kepalanya masih terasa pusing. Bayu masih ada di sana, sibuk membaca sesuatu di layar laptop.

SOMETIMESTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang