Bab Empatbelas

1.1K 124 6
                                    

Bab Empatbelas

"Kepada seseorang yang sangat kucintai. Aku tak bisa meraihmu, jadi aku akan berjalan di jalan yang terpisah. Karena itu, kuucapkan selamat tinggal."

Let Go - BTS

"Whuanjir, ini semua lo yang buat?"

Kening Elang berkerut dalam saat mendengar suara ribut dari arah dapur. Saat dia melewati pintu kamar milik Kaviar jika tinggal di sini, kakinya langsung berhenti melangkah. Apa Kaviar benar tidak datang ke sini? Dia menunggunya sampai tengah malam namun Kaviar tidak juga datang

Dengan ragu, Elang membuka pintu kamar Kaviar. Semuanya masih terlihat rapi seperti hari-hari sebelumnya. Tidak ada yang berubah. Dalam hati dia berdecak, seharusnya sejak awal dia tidak memercayai kata-kata Kaviar.

Langkahnya yang semula gontai tiba-tiba menjadi semangat saat melihat Kaviar sedang menyiapkan sarapan pagi di dapur sambil diganggu oleh seruan-seruan tidak bangetnya Devon.

"Lo di sini?" tanya Elang, berusaha menahan senyum.

Kaviar menoleh ke belakang sekilas. "Hm, gue udah janji sama lo bakalan dateng. Kurang baik apalagi coba gue ini. Udah ganteng, pinter, kakakable banget lagi." Detik berikutnya Kaviar mengaduh saat kepalanya dipukul oleh Devon. "Sakit, Bang! Kalau kepala gue ada pendarahan gimana?!"

"Tinggal operasi. Kalau operasinya gagal, tinggal kuburin. Gampang."

"Gampang pala lo!"

Rasa kecewa yang semula dirasakan Elang langsung menghilang seketika. Dengan patuh, dia duduk di kursi dan menerima sandwich yang dibuat oleh Kaviar. "Kapan datengnya? Kok, nggak kedengeran."

"Tau nih!" Devon menggelengkan kepala dan menunjuk Kaviar. "Dia dateng jam dua pagi! Gila! Gue pikir yang ngetuk pintu malem-malem itu setan. Taunya emang si setan Kaviar."

"Devon!" seru Ayah, bosan mengingatkan anaknya yang satu itu agar berkata sopan.
Devon menyengir lebar. "Hehe, maaf, Yah, lupa. Maksudnya, yang dateng itu si Malaikat Kaviar."

Ayah menatap Kaviar sambil tersenyum. "Kamu nggak usah repot buatin sarapan. Apalagi kamu datengnya malem banget, pasti masih ngantuk."

"Nggak papa, kok, Yah." Kaviar tersenyum, saat melihat Bunda berjalan ke arah dapur dia segera mengambil tasnya. "Aku berangkat dulu."

"Lho, kenapa  malah pergi? Kita sarapan bareng aja." Ayah menatap Bunda sekilas, mengerti kenapa tiba-tiba  Kaviar memilih pergi. "Kamu bisa pergi bareng Elang atau dianter sama Devon."

Kaviar menghindari tatapan Bunda. "Mau bareng Bondan aja, Yah. Katanya dia lagi di depan komplek. Bentar lagi sampai."

Saat mendengar suara klakson dari luar rumah, Kaviar langsung pergi setelah mencium tangan Ayah dan hanya melirik Bunda tanpa mengatakan apa pun. Sikapnya menjadi dingin dan jauh.

"Lo ... beneran sodara tirinya Elang? Njir!" seru Bondan setelah Kaviar masuk ke dalam mobil.

"Gue pernah bilang sama lo waktu itu. Elang dan Reyhan itu sama-sama adek gue."

Bondan tahu, tapi dia mengira Kaviar sedang bercanda waktu itu, tidak mungkin Kaviar mempunyai dua adik sekaligus, lagipula Elang dan Reyhan bersikap seolah tidak saling kenal. Dalam hati Bondan mendesah, pantas saja selama ini Kaviar selalu melindungi Elang bahkan sampai mengancam anak-anak lain agar memilih Elang sebagai ketua OSIS.

"Gue nggak bisa ngelindungi mereka sekaligus. Jadi gue harus bikin posisi Elang kuat biar dia nggak dibully sama anak-anak lain."

Masih ingat jelas alasan Kaviar ketika Bondan dan Rafi bertanya kenapa mereka harus mengancam anak-anak? Sahabatnya itu berhati lembut, rela menanggung beban yang mungkin tidak akan pernah sanggup dia tanggung jika menjadi Kaviar.

SOMETIMESTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang