XXXIV ¤ News

6.8K 636 1
                                    

Jonathan
Tetap waspada. Saya menemukan kejanggalan dibalik kasus jatuhnya helikopter Uncle Anthoni. Dimanapun kalian, tetap jaga Aileen dan jangan biarkan dia sendirian.

Pesan dari Jonathan membuatnya tidak yakin meninggalkan Humaira di apartemen sendirian. Walaupun dia tahu apartemen ini sangat ketat pengamanannya. Tapi, di hati kecil Laith, khawatir membiarkan Humaira sendirian.

"Assalamu'alaikum, Kak Zubair. Bagaimana kabarmu dan keluarga?" Ucap Laith dengan orang di seberang telepon.

"Wa'alaikumussalam. Alhamdulillah. Sehat semua. Saya dengar kamu di Mesir."

"Iya. Saya di Mesir tiba kemaren lusa. Hari ini Kak Zubair dan Kak Hasanah sibuk tidak? Saya ingin meminta bantuan."

"Tidak. Hari ini saya cuma ke kantor Shohibun Foundation. Hasanah dan Zaid, saya tinggal di rumah. Ada apa, Laith? Seperti sama siapa saja kamu itu."

"Haha. Saya gak tega ninggalin istri sendiri di apartemen. Kak Hasanah mau tidak menemani istri saya kira-kira ?"

"Maulah pasti. Oh ya, kamu nikah kenapa mendadak gitu. Kami jadi tidak bisa datang karena saat itu masih jadi relawan."

Laith terkekeh. "Niat baik harus disegerakan, bukan? Lagipula, yang penting sekarang kami berkunjung ke sini."

"Alasan saja kamu. Ya sudah nanti kami ke apartemen kamu ya."

Laith kembali terkekeh pelan, "siap Kak. Terima kasih."

Seusai mengucap salam dan menutup telepon Laith menghampiri sang istri di meja makan. Sarapan berdua.

"Sayang, nanti istri sahabat Mas kesini untuk menemanimu ya," kata Laith saat mereka selesai sarapan.

"Loh. Kenapa memangnya? Ai pikir bakal sendirian disini," ucap Humaira bingung. Pasalnya dia mengira akan ditinggal sendiri di apartemen.

"Tidak apa. Biar kamu tidak kesepian. Sahabat Mas dan istrinya juga tidak keberatan," ujar Laith

"Iya, deh. Ai juga jadi ada teman. Oh ya, sahabat Mas yang mana memangnya ?" Tanya Humaira. Seraya menumpuk piring bekas makan dan membawa ke wastafel.

"Yang mengurus Shohibun Foundation. Kamu nanti sama istri dan anak lelakinya," jawab Laith membantu Humaira mencuci piring.

Mendengar shohibun Foundation, sepertinya tidak asing di telinga Humaira. Namun, dirinya tidak terlalu menghiraukan itu.

"Oh ya. Bakal rame dong," ujarnya.

"Iya. Dulu waktu kita nikahan, Mas juga undang mereka. Tapi, mereka masih jadi relawan. Tidak bisa datang akhirnya," ucap Laith membersihkan tangannya dan tangan sang istri seusai mencuci piring.

"Mas tunggu mereka datang, baru ke kantor. Nanti saat Mas di kantor kamu kunci pintu ya. Jangan buka pintu untuk orang yang tidak dikenal. Kalau mau kemana-mana bilang Mas, biar nanti Mas antar," ucap Laith.

Humaira yang belum mengenakan niqabnya menatap bingung sang suami. Mengapa rasanya Laith lebih posesif dan terlalu khawatir. Padahal, Humaira biasa sendiri dan tidak apa-apa. Namun, Humaira tetap mengangguk menuruti sang suami.

"Mengapa Mas terlihat sangat khawatir begitu?" tanya Humaira saat mereka di dalam kamar untuk mengambilkan pakaian formal Laith.

"Tidak kenapa-napa. Wajar dong Mas khawatir sama istri sendiri," ucap Laith dengan nada jahilnya. Menatap sang istri yang sedang memakaikan dasi untuknya.

"Ish. Gausah ngegoda ya," ujar Humaira. Dirinya tetap saja tidak kebal digoda Laith. Seperti ada kupu-kupu terbang di perutnya.

"Siapa juga yang ngegoda. Mas ini mau kamu tetap nyaman dan aman. Mas juga gak rela ninggalin kamu sebenarnya. Pengennya sih seperti waktu kita honeymoon," ucap Laith meletakkan tangan di pinggul sang istri dan memeluk rapat.

amore: Sacred Love [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang