II ¤ Jabal Rahmah

11.4K 1.1K 9
                                    

Jabal Rahmah, Mekkah.

Humaira meniti satu-persatu batu yang menyusun Jabal Rahmah. Tiada henti dirinya mengucap hamdalah dan tasbih. Sudah 8 bulan berlalu, sejak Aileen menjadi mualaf. Sejak nama Humaira ia sandang.

Setelah melaksanakan rukun umroh beberapa hari bersama rombongan. Hari ini, Humaira bertolak ke padang Arafah untuk berkunjung ke Jabal Rahmah seorang diri. Abaya hitam dengan khimar hitam sepanjang perut memancarkan wajah putih Humaira yang secantik dan sebening langit cerah di atasnya.

Humaira tidak berharap atau berdoa apa-apa di sini. Dia hanya sedang mengagumi bagaimana luas dan indahnya bukit kasih sayang, tempat bertemunya Adam dan Hawa setelah --entah-- berapa puluh atau ratus tahun berpisah sejak dikeluarkan dari surga.

Subhanallah, bahkan Allah menciptakan tempat romantis di muka bumi ini. Batin Humaira.

Setelah cukup Humaira mengucap segala puji-pujian mengagungkan ciptaan Allah. Dia kembali berjalan menuju daerah landai.

Langkahnya terhenti ketika bocah lelaki kecil --dengan abaya putih panjang dan peci rajut putih-- menabrak kaki Humaira dan jatuh terduduk.

"Are you okay, Son ?" Tanya Humaira khawatir dengan berjongkok di depan bocah 5 tahun yang terduduk di depannya.

Bocah itu menatap Humaira, matanya berkaca-kaca, bibirnya mengerucut. Sepertinya hendak menangis. Dia sangat menggemaskan. Humaira tersenyum dan mengelus puncak kepalanya.

"Sudah tidak apa-apa. Sini kakak gendong. Kalau mau nangis, nangis saja. Tidak usah ditahan," ucap Humaira halus dengan Bahasa Arab, seraya menggendong bocah itu dan mengelus bokongnya yang tadi terjatuh.

"Huwaa, Zaid kaget. Maafin Zaid ya Kakak karena nabrak kakak," ucap bocah itu yang memanggil dirinya dengan Zaid.

Humaira menggendong dan menenangkan Zaid yang menangis. Lalu, dari arah samping datang pasangan suami istri yang memanggil nama Zaid. Zaid mendongakkan kepalanya dan Humaira langsung menoleh ke arah suara.

"Terima kasih, Ukhty. Sudah menenangkan putra kami," ucap ibunda Zaid berbahasa Arab. Kalau dilihat wajahnya seperti orang Asia.

Humaira menjawab dengan ramah. Mereka lantas berkenalan dan mengobrol ringan. Menanyakan Humaira yang ternyata mualaf dari Indonesia. Suprisingly, ibunda Zaid juga orang Indonesia yang menikah dengan suaminya yang berasal dari Maroko dan tinggal di Mesir.

Mereka akhirnya mengobrol seraya makan es krim dari kedai yang ada di sekitar Jabal Rahmah.

"Humaira, suami saya dan sahabatnya baru saja mendirikan Shohibun Foundation, semacam perkumpulan relawan yang mau membantu sesama di daerah Timur Tengah dan Afrika. Bisa membantu secara materi ataupun jasa seperti mengajar dan memberi layanan kesehatan. Mungkin kalau kamu berkenan bisa ikut menjadi relawan," ajak Hasanah, sedang Zubair --suaminya-- menggendong Zaid yang sedang makan es krim.

"Maa Syaa Allah, saya ingin sekali. Tapi untuk mengajar, ilmu agama saya belum seberapa. Saya juga baru mengenal Islam," ucap Humaira.

"Kamu bisa mengajarkan pendidikan umum, seperti matematika atau sains. Kamu tidak harus sekarang untuk menjadi relawan, Ra. Kita bertukar nomor saja, untuk menjaga silaturrahmi juga. Beritahu kalau kamu sudah berminat, ya," ujar Hasanah.

"Baiklah, Kak. Saya ingin mendalami ilmu agama dulu ya, Kak. Saya juga ingin izin dengan Umi, Abi, dan kakak saya di Indonesia. Terima kasih banyak, Kak Hasanah," ucap Humaira. Sebelumnya, Humaira memang sudah menjelaskan keluarganya sekarang.

"Take your time, Ra. Kapanpun kamu bisa hubungi saya. Sekarang kita saudara semuslim juga kan, menjaga silaturrahmi wajib hukumnya bagi sesama muslim," ucap Hasanah tulus.

amore: Sacred Love [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang