XXVII ¤ Revive

8.3K 768 8
                                    

Humaira menatap kosong jendela di sebelah kanannya. Pikirannya terjun ke mimpi saat ia terbaring tak sadarkan diri. Mengukir wajah lembut dan senyum manis buah hatinya.

"Humaira," panggilan lembut dari sang suami menyentaknya. Membuat dia menoleh dan tersenyum tipis.

Jujur, dirinya merindukan sang suami. Sulit baginya mendiamkan Laith, tapi egonya berkehendak lain. Dirinya sedang terlarut dalam kesedihan dan duka. Mencoba ikhlas namun berat dirasa.

"Sarapan dulu ya, habis itu minum obat." Humaira hanya mengangguk tanpa mengucap satu patah katapun.

Itu membuat hati Laith nyeri. Istrinya seperti kehilangan separuh jiwa dan Laith tahu, Humaira belum sepenuhnya ikhlas.

Dengan telaten Laith menyuapi sang istri. Membersihkan noda sisa di pinggir bibir Humaira. Membantu untuk minum. Menghela nafas dan mengalah saat Humaira menutup mulut rapat dan menggeleng sesudah suapan keempat.

"Minum obat ya," ujar Laith lembut membantu istrinya minum obat.

"Sehabis dzuhur saat jam jenguk, Abah, Umma, Abi, Umi, bakal ke sini. Ning Lathifa sama Gus Azzam di apartemen, Zaidan tidak boleh masuk rumah sakit. Terus kata Umi, sehabis kamu sembuh Fathir akan meminang Zaskia. Makanya, kamu cepat sembuh ya," ujar Laith lembut mengusap peluh di dahi sang istri.

Humaira menatap Laith dengan mata berkaca-kaca. Air matanya kembali membasahi pipi pucat dan tampak tirus itu. Dirinya tidak terlalu mendengarkan. Terlarut dalam sosok di depannya yang masih saja sabar menghadapi Humaira dengan sifat kekanakannya saat ini.

"Jangan nangis terus dong. Ingat kan kata-kata Mas. Tangisanmu itu luka buat Mas. Kalau Humaira menangis terus, nanti Mas juga terluka. Senyum ya, biar cantiknya ngalahin bidadari surga," rayu Laith mengusap air mata Humaira.

Humaira bersemu merah dan segera menenggelamkan wajah di dada bidang sang suami. Menyembunyikan rona dan senyum tipisnya.

Bersyukur di kondisi seperti ini Laith selalu menemani dan membuatnya tidak berlarut dalam kesedihan.

Laith mengusap lengan sang istri. Mengecup lembut pelipisnya dan berbisik.

"I love you."

Tangis Humaira mengalir kembali. Bagaimanapun dirinya masih rapuh dan kata-kata itu seolah merayap ke relung jiwa sebagai tompangannya dalam mengikhlaskan buah hati mereka yang telah tiada.

"Mas.." Laith dapat mendengar kata pertama dari Humaira sejak kemaren sore. Setelah perbincangan berakhir sedu-sedan.

"Hmm. Kenapa, Sayang ?" Jawab Laith masih memeluk tubuh sang istri.

"Mas masih tetap cinta sama Ai walaupun Ai gak bisa menjaga buah hati kita ?" Tanya Humaira lirih. Mendongak menatap mata tajam sang suami dengan linangan air mata.

"Mas akan tetap mencintaimu sampai kapanpun. Kamu sudah menjaga buah hati kita dengan benar, Humaira. Justru Mas yang tidak bisa menjaga kalian. Tapi, apapun itu yang sudah berlalu kita harus mengikhlaskan. Kalau kita tetap jalan di tempat, bukankah justru itu akan merugikan diri kita. Allah berfirman, orang yang merugi adalah mereka yang sia-sia perbuatannya dalam kehidupan ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka telah berbuat sebaik-baiknya." (Q.S Al-Kahfi ayat 104)

"Mas mohon ya, agar Humaira bangkit, mengikhlaskan buah hati kita. Kita juga bisa buat yang baru, Mas juga tidak keberatan," goda Laith seraya mengecup bibir pucat sang istri.

Humaira merona dan memukul dada Laith pelan. Tak habis pikir, suaminya ini sedang keadaan serius malah menggodanya.

"Nah, gitu dong. Pipinya berwarna. Bibirnya tersenyum. Matanya bercahaya. Mas lebih suka kamu yang ceria. Jadi, jangan sedih lagi ya," ucap Laith menyentuh bagian-bagian yang dia sebut tadi dengan lembut.

amore: Sacred Love [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang