XXIX ¤ New Begin

7.4K 733 6
                                    

Humaira dan Laith tiba di Fiumicino International Airport, Rome, Italy. Bertepatan akhir tahun dan Roma memasuki musim dingin. Laith dan Humaira sudah mengenakan mantel tebal agar udara dingin malam hari tidak terlalu mencekam badan.

"Sini tangan kamu," Laith meraih tangan Humaira yang tidak mengenakan sarung tangan. Menggosok dan meniupnya agar semakin hangat. Walaupun masih di dalam ruangan, cuaca sangat menusuk.

"Tadinya sarung tangannya dipakai, jangan ditaruh koper," omel Laith. Humaira terkekeh pelan.

"Tidak apa-apa, kok. Aku sudah terbiasa," jawab Humaira.

"Tanganmu dingin begini, Humaira," ujar Laith menangkupkan tangan Humaira ke pipinya. Agar menghangat.

"Excuse me. Are you both Mr and Mrs El-Farees ?" Tanya seseorang mengintrupsi kegiatan saling menghangatkan itu.

"Yes, we are," jawab Laith. Menggenggam salah satu tangan sang istri memasukkannya ke saku mantel.

"Ah. My name is Mateo. I am Mr. De Luca's messenger to pick you two up," ujarnya.

"Can I see your ID Card and the evidence," ujar Laith dengan mata tajamnya dan tanpa senyum.

Humaira mengerutkan alis. Tidak biasanya Laith bersikap seperti ini. Padahal, dia selalu ramah bahkan dengan orang yang tak dia kenal. Apa ada yang terjadi ?

"Okay, then. Thank you, Sir Mateo. Sayang, ayo jalan."

Humaira tersentak saat Laith memanggil dan menarik tangan yang masih di saku sang suami. Dirinya tadi terlalu larut dalam lamunan.

Saat di mobil Humaira masih memikirkan hal tersebut.

"Mas ?" Panggil Humaira menoleh ke arah sang suami yang sedang memainkan gadget. Sepertinya sedang bertukar pesan.

"Hmm," hanya dengungan yang Humaira dengar.

"Mas, liat sini," ujar Humaira membawa wajah sang suami menatapnya.

Laith mematika handphone dan menaruh di saku. Sekarang, fokusnya hanya pada sang istri yang menatap tajam dirinya.

"Ada apa, Sayang ?" Tanya Laith lembut. Mengusap pipi Humaira yang memerah karena kedinginan.

"Tadi.. kok Mas beda sih ?" Tanya Humaira ragu-ragu

"Beda nya dimana ?" Tanya Laith inosen. Tidak paham.

"Eung.. mengintimidasi," Humaira menjawab dengan berbisik menempelkan kedua tangan di pinggir bibir dan menempelkan ke telinga Laith.

Laith mengangkat satu alis dan terkekeh pelan, "bukan begitu maksud Mas, hanya untuk jaga-jaga. Grand Pa kamu belum bilang siapa yang akan menjemput soalnya," jelas Laith.

Humaira hanya ber-oh ria. Lalu, kembali menatap Laith.

"Terus tadi tukar pesan sama siapa ?" Tanya Humaira curiga, menyipitkan mata ke arah sang suami.

Laith terkekeh, "bukan siapa-siapa," godanya seraya merangkul sang istri.

"Gini nih, kalo selingkuh juga gak bakal ngaku kan, 'ini selingkuhan Mas,'" cibir Humaira dengan mulut mengerucut saat memerankan kata-kata Laith.

Laith semakin terkekeh geli melihat aksi cemburu sang istri. Tidak tahan, dia mengecup pipi merona itu yang kian memerah.

"Bukan selingkuhan Mas. Mana mungkin Mas selingkuh padahal istri Mas sendiri sudah seperti bidadari surga," puji Laith dengan tulus dan mata memuja ke arah Humaira.

Humaira balas menatap, mencari sebuah kebohongan di mata sang suami. Nihil. Mata itu benar-benar mata yang sedang mengagumi, jatuh cinta, dan tulus. Humaira tidak tahan ditatap seperti itu malah membuatnya salah tingkah. Benar-benar bumerang.

amore: Sacred Love [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang