Epilog

8.6K 661 6
                                    

Azka, Azza, dan Azriel. Ketiga putra dan putri Laith dan Humaira tengah mendengarkan Sang Ayah memberi nasihat di balut dengan cerita. Dengan Humaira yang duduk di antara mereka.

Ini merupakan sebuah kebiasaan yang sering dilakukan Laith dan Humaira setelah mengaji atau belajar kitab sejak mereka kecil. Laith senang bercerita mengenai kisah-kisah Nabi dan Rasul atau cerita Khalifah dan cerita kebangkitan Islam di masa dahulu.

Lalu saat ini, setelah Laith memboyong keluarganya kembali ke Indonesia sehabis mengurus kepindahan El-lectro Inc. pusat ke Jakarta, Laith menyempatkan untuk bercerita mengenai sakaratul maut kepada anak-anaknya.

Bagi Laith, mereka sudah beranjak remaja, mereka juga harus bertanggung jawab akan kehidupan mereka agar tetap di jalan Allah.

"Astagfirullah. Jika para Nabi dan Rasul, yang sudah jelas maksum, mengalami begitu sakitnya saat sakaratul maut. Lalu, bagaimana dengan kita yang manusia biasa, apalagi para pendosa, Yah?" tanya Azza.

Azriel ikut mengangguk penasaran. "Apa sakaratul maut juga akan setimpal dengan dosa-dosa dan kemaksiatan yang dilakukan saat di dunia, Yah?" tanya Azriel kepada sang ayah.

Laith tersenyum tipis sebelum menjawab.

"Menurut Ustadz Khalilurrahman El Mahfani,  maka yang akan kita rasakan pada saat itu adalah kemalangan yang memilukan oleh karena dosa-dosa kita, dan bahwasanya dahsyat kematian pada saat sakaratul maut itu ada tiga macam. Abang, bisa sebutkan?" tanya Laith kepada Azka.

Azka mengangguk. "Pertama, dahsyatnya pada waktu 'naza' yaitu waktu di mana seluruh tubuh merasa sakit yang tak terkira karena sedang dicabut. Kedua, ketika melihat wajah malaikat maut, bahkan jika orang tersebut adalah orang durhaka dan pendosa dengan badan yang kekar, ia tetap tidak akan kuat melihat wajah malaikat maut. Ketiga, pada waktu melihat tempatnya di neraka, sedangkan ia dalam keadaan sekarat."

Humaira tersenyum seraya mengelus surai Azriel yang tengah menampakkan wajah ketakutan dan memeluk Azza yang sedari tadi juga memeluknya erat.

Laith ikut tersenyum menatap kedua anaknya yang menempel sang istri. Laith mengelus surai Azka pelan dan bangga, ternyata Azka masih ingat padahal yang mengajari Azka adalah ayahnya, Kiyai Khudori, beberapa tahun silam.

"Terima kasih sudah dijelasin. Azka masih ingat yang diajarin Mbah Kakung?" tanya Laith.

Azka mengangguk lagi. "Masih, Yah, alhamdulillah. Azka juga sambil baca-baca lagi biar gak mudah lupa," jawabnya.

"Alhamdulillah. Bagus, Big Boy," ucap Laith. "Terus, kenapa ini kok pada peluk-peluk Bunda?" tanya Laith kepada Azriel dan Azza.

"Takut, Yah," ucap Azriel.

Laith menggeleng. "Sakaratul maut memang terdengar menakutkan, tapi semua atas kehendak Allah. Jika kita menjadi hamba yang taat menjalankan ibadah dan menjauhi larangan-Nya, maka kematian bukanlah hal yang menakutkan. Apa anak-anak Ayah dan Bunda ini akan menjadi orang-orang yang beriman?" tanya Laith.

Azka, Azza, dan Azriel kompak mengangguk dan menjawab, "insyaa Allah, Yah."

Humaira kembali tersenyum. Lalu, menengok ke arah Azka. "Abang ingin dipeluk Bunda, juga?" tanya Humaira lembut.

Azka tidak menjawab, hanya mengangguk dan menghampiri ibundanya, ikut saling berpelukan.

"Ayah juga mau berpelukan," ucap Laith terkekeh pelan seraya ikut memeluk. Mereka berpelukan sembari tertawa pelan, menikmati kebersamaan.

🍁🍁🍁

Alhamdulillah.

Sebenarnya aku lupa kalau di awal ada prolog, jadi harus ada epilog. Hehe.

Ini singkat, tapi semoga bisa menghibur dan bermanfaat, ya ....

Cerita amore: Sacred Love ini belum direvisi dan masih banyak yang tidak sesuai PUEBI. Jadi, maaf ya kalau penulisannya berantakan.

Oh ya, aku udah siapin 3 extra chapter yang akan di-publish tiga hari ke depan. Malam ini epilog dulu ya. See you.

Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.

With Love,
Moon Prytn.

amore: Sacred Love [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang