IV ¤ Pain and Cure

9.3K 955 11
                                    

Sepuluh bulan lalu. Flashback.

Jakarta, Indonesia.

"Helikopter terbakar lalu jatuh ke Samudera Hindia. Seluruh penumpang dan awak kabin tidak dapat diselamatkan, termasuk Tuan Anthoni dan Nyonya Abigail."

Kabar mengejutkan itu berawal saat Aileen baru saja tiba di apartemennya. Panggilan telepon dari Tante Anastasya --adik bungsu Daddy-- yang mengabarkan jika orang tuanya tiada.

Tentu saja Aileen tidak percaya. Langsung dia menuju rumah utama kediaman Tanuwijaya. Baru setelah orang kepercayaan Daddynya itu berucap demikian. Aileen --hanya diam mematung-- tidak tahu harus berbuat apa. Hati kecilnya menolak untuk percaya. Air mata ia rasakan sudah menganak sungai di pipinya.

"Seluruh aset kekayaan pribadi Tuan Anthoni Tanuwijaya dan Nyonya Abigail Oey De Luca akan diserahkan ke ahli waris satu-satunya, yaitu Nona Aileen Grizelle Tanuwijaya. Perusahaan A Corporation sepenuhnya juga akan diteruskan Nona Aileen Grizelle Tanuwijaya. Jadi, untuk pengambilan keputusan mengenai perusahaan ada di tangan Nona Aileen. Selesai. Ditandatangani langsung oleh Tuan Anthoni Tanuwijaya," ujar Pak Syahrir -tangan kanan kepercayaan Daddy Aileen- membacakan surat wasiat dari Anthoni Tanuwijaya.

"Hanya nama Aileen yang disebut di situ ?" Tanya Tante Christine --istri Om Andreas-- dengan nada sinis.

"Bagaimana bisa kami tidak dapat bagian sepeserpun dari aset dan saham milik Kak Anthoni ?" Tanya Om Andreas menggebu saat tidak ada nama lain selain si Aileen di surat wasiat itu.

"Lagian mana bisa si Aileen ngurus perusahaan. Hobi dia cuma jalan-jalan dan ngehabisin uang," tambah Tante Anastasya.

"Enak banget hidup lo ya, Leen. Gak keringetan tapi dapat uang. Cih," sinis Angel --putri sulung Anastasya.

"Tolong jaga ucapan Anda. Tidak pantas kalian berkata seperti itu disaat nona Aileen sedang berduka sekarang," bela Pak Syahrir. Aileen menatap nanar mereka -air mata menggenang di pipinya- tidak menyangka orang yang dia anggap keluarga bisa berkata demikian di hadapannya setelah kedua orang tuanya tiada.

"Menurut saya, dipertimbangkan dulu. Aileen masih terlalu muda, Pak Syahrir. Bisa kita yang urus A Crop dan saham lain," usul Om Handoko -suami Anastasya- dengan maksud tertentu.

"Menurut saya, surat wasiat itu sudah sangat jelas. Bukankah benar semua yang ditinggalkan Tuan Anthoni dan Nyonya Abigail adalah milik putri tunggal mereka. Nona Aileen," jawab Pak Syahrir.

"Kalau begitu, Tanuwijaya Group akan berada di tangan keluarga saya dan adik saya, Andreas Tanuwijaya dan Anastasya Tanuwijaya. Tanpa ada sepeserpun untuk Aileen Tanuwijaya, termasuk rumah ini. Kami anggap, Aileen bukan salah satu dari Tanuwijaya Group sehingga kami menolak kehadirannya di sini ataupun di ranah milik Tanuwijaya Group," ucap Andreas, adik Daddy Aileen tajam. Menatap dengan sorot tersirat ke arah Pak Syahrir.

Aileen --sangat-- paham. Pak Syahrir sedang diancam agar nama mereka ada di ahli waris Daddy atau Aileen angkat kaki dari keluarga Tanuwijaya. Dia menghela nafas, tak habis fikir. Dalam keadaan berduka, mereka masih memikirkan harta Daddy.

"Saya terima untuk angkat kaki dari sini dengan syarat memcabut semua saham Tanuwijaya Group dari A Crop, dengan begitu A Corp akan menjadi perusahaan ekspedisi mandiri tanpa naungan Tanuwijaya lagi. Mengambil alih semua yang Daddy saya wariskan tanpa sepeserpun harta dari Tanuwijaya Group. Akan menghilang dari keluarga besar Tanuwijaya tanpa menghilangkan nama Tanuwijaya di belakang nama saya. Karena itu juga merupakan salah satu wasiat dari Daddy. Pak Syahrir, tolong urus semuanya, lalu sampaikan pada saya hasilnya," ucap Aileen tegas, sekuat tenaga menahan isak yang ingin menyeruak.

Aileen bisa menatap bola mata Pak Syahrir yang membesar. Namun, tidak bisa untuk membantah. Dia mengangguk dan mengiyakan. Aileen berdiri hendak --menghilang-- pergi keluar dari rumah besar keluarga Tanuwijaya. Saat di halaman luas menuju gerbang utama, Pak Syahrir mencegah langkahnya.

amore: Sacred Love [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang