XXXVIII ¤ The Strongest

6.4K 655 16
                                    

Assalamualaikum semua
Selamat malam

Ini sudah menjelang ending, nih. Kira-kira tinggal dua chapter lagi 😆🙌

Selamat menikmati 🧡

🍁🍁🍁

Dua kali.

Dua kali dirinya menerima kabar kecelakaan udara yang merenggut nyawa orang yang Humaira cintai.

Daddy

Mommy

Laith.

Empat puluh hari dirinya menjalani masa iddah. Bersama sang buah hati yang menemani. Humaira menjadi sosok yang lebih kuat. Mengikhlaskan sang suami yang lebih dulu dipanggil Sang Maha Kuasa.

Minggu pertama sangat berat. Dia habiskan menangis di kamar. Bersujud berkali-kali meminta agar sang suami kembali.

Di minggu ini pula, Pak Syahrir dan keluarganya datang takziyah. Humaira tidak berekspresi lebih selain mata sembabnya. Merekapun memaklumi itu. Pak Syahrir sangat khawatir, tubuh anak majikannya itu sangat kurus walau tertutup rapat bajunya. Padahal, Humaira sedang hamil.

Minggu kedua. Humaira mengingat bahwa dia memiliki anak yang harus dijaga di perutnya. Anak mereka. Buah hatinya dan Laith. Humaira mulai bangkit dan lebih mengurus diri demi sang bayi yang dia kandung.

Minggu ketiga. Ikhlas. Walau setengah hati, dirinya sudah bisa menerima tamu yang hadir seharian untuk takziyah dan memberi doa. Meskipun, sudah beberapa minggu berlalu. Kabar meninggalnya Laith terus mengundang banyak jamaah yang hadir untuk mendoakan.

Di minggu ketiga ini juga keluarga dari Italia hadir. Memberi karangan bunga dan doa sesuai kepercayaan masing-masing. Seminggu menemani Humaira dan memberi kekuatan.

Dan minggu-minggu berlalu. Humaira sepenuhnya ikhlas. Bahwa dirinya dan Laith serta seluruh manusia diciptakan untuk kembali ke haribaan Sang Ilahi.

Humaira sudah dapat tersenyum meskipun hatinya masih nyeri jika kembali diingatkan dengan Laith. Dirinya tahu. Dia tegar. Demi Laith. Demi sang buah hati.

Setiap malam Humaira bermunajat. Menangis di sepertiga malam. Meminta kekuatan kepada Sang Maha Kuat. Membaca Ayat Suci Al-Quran untuk menenangkan tendangan sang buah hati yang selalu menyentak kuat saat dirinya menangis kencang di atas sajadah.

"Shodaqallahul'adziim."

Humaira menutup kitab suci dan meletakkan di atas nakas. Dengan masih mengenakan mukena mahar dari Laith. Dirinya duduk bersandar di headboard tempat tidur kamar sang suami.

"Adek pasti senang ya Bunda baca Al-Quran. Kalau nendang jangan keras-keras ya. Ingatkan kata Ayah, adek gak boleh rewel di perut Bunda. Nanti, dua bulan lagi, saat adek udah lahir baru deh boleh tendang sepuasnya," ujar Humaira seraya mengelus perutnya yang sudah besar.

Tak terasa, tujuh bulan berlalu.

Tujuh bulanan akan dilakukan hari ini. Sungguh waktu berjalan cepat dan lambat secara bersamaan. Tidak lama lagi, bayinya akan hadir di dunia. Menemani sang bunda yang sebatangkara tanpa sang ayah.

"Adek nanti yang kuatin bunda ya. Adek juga yang jaga bunda. Yang jadi pelindung bunda. My baby boy should be brave like father. Karena Ayah sudah tidak ada. Jadi, nanti adek yang menjadi super hero buat bunda," lirih Humaira menahan isak. Punggung tangannya mengusap pipi yang berlinang air mata.

"Yaa Allah. Kuatkan hamba," isak Humaira memegang dadanya.

Selalu. Dirinya merasa sesak saat mengajak berbicara sang buah hati.

amore: Sacred Love [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang