XVI ¤ Just The Two of Us

10.8K 947 22
                                    

"Tadi Abah sama Umma pamit berkunjung ke pesantren orang tua Gus Azzam, suami Ning Lathifa. Zaidan sedang rewel juga soalnya," ujar Laith saat mereka tiba di rumah Abah Yai malam ini.

"Oh, begitu. Terus mbak-mbak lain pada kemana, Mas? Kok sepi," tanya Humaira. Tidak biasanya Ndalem sepi.

"Mas suruh libur dulu, mereka menginap di asrama santriwati. Jadi, hanya kita berdua," celetuk Laith.

Humaira melotot. Merinding mendengar kata itu. Hanya kita berdua. Hanya. Berdua.

Berdua.

Astaghfirullah. Otak jangan traveling deh. Batin Humaira.

"Jangan ngelamun, Humaira." Suara Gus Laith menyentak kesadaran Humaira kembali ke tubuhnya.

"Nggak, kok. Itu tadi traveling," ceplos Humaira.

"Hah? Siapa yang traveling?" Tanya Laith bingung.

"Eh, nggak. Oh ya, kamar Mas Laith yang mana?" Tanya Humaira mengalihkan pembicaraan.

"Di atas. Ayo, sini kopernya biar Mas yang bawa," ujar Laith seraya membawa koper ke lantai atas.

Cklek.

Rapi. Kamar Laith sangat rapi dan bersih. Dengan warna dominan putih dan abu. Tembok bersih di cat putih dengan jendela besar di sebelah kanan -dengan tirai dalam putih tranparant dilapisi gorden tebal abu tua diikat kanan kiri- menuju pemandangan hijau pematang di belakang rumah. Tempat tidur queen size dengan bed cover warna abu metalic. Lemari besar sewarna gorden di samping kiri sebelah pintu. Dan yang paling mencolok adalah meja rias berwarna putih di samping meja nakas. Dan ada dua pintu penghubung. Sepertinya, salah satunya kamar mandi.

"Pakaian kamu di taruh sebelah sini ya," ujar Laith -lagi-lagi- menyentak Humaira.

"Iya, Mas. Langsung Ai masuk-masukin ya," ujar Humaira.

"Terserah kamu, kalau capek nanti aja gapapa," ucap Laith memandang istrinya.

Humaira menggeleng, "nggak kok."

"Ya sudah. Mas mandi dulu ya," ujar Laith yang diangguki Humaira.

Karena malam ini mereka hanya berdua dan sehabis sholat isya langsung ke rumah Abah Yai. Mereka belum sempat makan malam.

Dengan inisiatif, Humaira membuat makan malam untuk keduanya. Untung diuntung, dulu dia sering tinggal sendiri dan keliling dunia membuatnya pandai mengolah makanan. Menu malam ini adalah chicken fried steak with mashed potato. Karena kebetulan ada ayam dan kentang di dalam kulkas

Gatau Gus Laith bakal suka apa tidak. Apalagi ini makanan western takut tidak cocok dengan lidah suaminya. Namun, saat dia sedang menyiapkan dish agar terlihat cantik. Tiba-tiba sepasang tangan melingkar di pinggangnya.

"Wanginya harum banget sampe kecium dari lantai atas," bisik Laith dan menumpukan dagu di pundak Humaira.

"Masa sih. Udah selesai nih. Tadaa," ujar Humaira mempersembahkan hasil karyanya.

"Looks delicious," puji Laith. Melepas pelukan dan membawa makanan ke meja makan.

"chicken fried steak with mashed potato," ujar Humaira. Meletakkan gelas minum ke meja makan.

"Hmm, even the name sounds good," puji Laith kedua kalinya.

"Ayo dicoba. Terus komen ya rasanya gimana," ujar Humaira Antusias.

Humaira mengambilkan pisau dan garpu. Menunggu Laith memotong, lalu memasukkan makanan hasil karyanya ke mulut. Mengunyah. Dan menelan. Seperti slowmotion dan Humaira menunggu dengan tangan saling menaut dan mata berbinar.

amore: Sacred Love [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang