XXIII ¤ Enemy

8.8K 768 3
                                    

Laith merasa segar pagi ini. Bebannya sudah berkurang karena sang istri sudah kembali ceria dan sehat.

"Mas mau makan apa ?" Tanya Humaira di depan kulkas.

"Eung. Kok pengen Pancake with Maple Syrup, ya," ujar Laith.

"Hah ? Itukan makanan kesukaan Ai," ucap Humaira seraya melongokkan kepala ke arah Laith yang ada di meja makan.

"Oh ya ? Bagus dong, yaudah bikin itu aja," tukas Laith seenaknya.

"Tapi, mana ada Maple Syrupnya, Mas," rengek Humaira.

"Yahh, yaudah pake yang ada aja, yang penting Pancake. Adanya apa ?" Tanya Laith seraya berjalan ke arah Humaira, ikut melongok kulkas.

"Adanya madu. Mau ?" Tanya Humaira seraya mengambil tube madu dari kulkas.

"Mau," angguk Laith.

"Tapi bantu bikin adonannya," ucap Humaira menatap sang suami yang hanya mengacungkan jempol dan tersenyum.

Saat sedang membuat adonan. Kerjaan Laith hanya mengaduk adonan, mencocol madu, mengoles tepung ke wajah Humaira, dan hal-hal unfaedah lainnya. Yang membuat mereka akhirnya perang colek tepung dan saling tertawa.

Mereka tidak menyadari, para mbak abdi menatap dengan senyum dan tawa tertahan melihat kemesraan dua sejoli itu.

Nah, sekarang yang paling membuat Humaira geram. Sudah waktu memasak makin lama gara-gara main tepung. Eh saat memasak di loyang Laith malah menggelendot di belakangnya.

"Ish lepasin Mas, mau kalo ada yang liat. Mending Mas sana deh duduk di meja makan nunggu pancake nya matang," gerah Humaira. Tangannya masih aktif di loyang, jadi tidak bisa menyingkirkan sang suami.

"Nggak mau. Enakan begini. Katanya mau dibantuin. Nih Mas bantu pelukan," jawab Laith semakin mengeratkan pelukannya dan menaruh wajah di ceruk leher sang istri.

"Yang ada ngerusuh dari tadi Mas itu. Harusnya kita bisa makan dari tiga puluh menit yang lalu," semprot Humaira.

"Hmm," gumam Laith. Tidak urus yang penting Laith senang.

"Awas minggir. Udah selesai nih," ujar Humaira. Mau tidak mau Laith melepas pelukannya.

Mereka makan berdua Pancake with Honey nya karena Abah sama Umma belum pulang. Kemungkinan nanti sore atau malam.

Usai sarapan. Mereka kembali ke kegiatan masing-masing. Humaira yang kembali mengecek laporan keuangan dari Pak Syahrir minggu ini. Laith sedang bersiap untuk pergi mengajar.

"Sayang, kalau udah punya anak, kamu mau tinggal di sini apa di rumah sendiri ?" Tanya Laith tiba-tiba. Duduk di sofa, di atas sang istri yang duduk di bawah beralas karpet dan laptop di meja.

"Eh ? Ai ngikut Mas. Apapun keputusan Mas, Ai akan selalu mendukung. Pasti itu yang terbaikkan buat kita nanti," ujar Humaira seraya mendangak menatap sang suami di belakang atasnya.

"Grand Pa kamu sudah menagih janjinya. Kamu gimana ?" Tanya Laith.

"Oh iya ya. Ai sampai lupa tawaran Grand Pa. Kalau bulan depan Mas bisa gak ?" Tanya Humaira.

Laith mengangguk, "bisa. Cukup buat ngurus keberangkatannya. Kita ke Roma dulu ya, menengok Grand Pa, baru kamu nagih hadianya," ujar Laith terkekeh.

"Ish. Bukannya Mas yang nunggu-nunggu Honeymoon ya," ucap Humaira seraya pindah duduk di sebelah suaminya.

"Iya dong. Emang kamu nggak ?" Tanya Laith.

"Duh. Ai belum mutusin mau kemana lagi," ujar Humaira.

amore: Sacred Love [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang