Tolak atau terima?

139 6 0
                                    

Afra memalingkan wajahnya ke arah lain saat mendengar pernyataan yang Satria lontarkan baru saja. Bibirnya mengatup terdiam, otaknya tiba-tiba saja berhenti.

"Saya serius, saya nggak pernah merasa ini sama cewek lain, selain kamu." Satria menambahkan.

"Fra, dengarkan saya dulu. Saya tau ini terlalu cepat untuk kita, tapi saya nggak bisa menahan ini terus menerus."

Afra menggeleng pelan, bayangan Abidzar tiba-tiba terlintas di pikirannya. Luka yang Abidzar beri belum sepenuhnya pulih. Kini, ada seseorang baru yang mengaku bahwa ia mencintainya.

"Sat, gue minta maaf banget. Tapi jujur, gue belum siap buat saat ini. Gue harap lo paham, ya?" Afra berbicara dengan sangat hati-hati.

Satria mengangguk pelan, "Paham. Saya sangat paham. Tapi tolong izinkan saya membuat kamu nyaman."

Afra menatap wajah Satria yang juga menatapnya. Pandangan matanya yang teduh, seolah meminta persetujuan darinya.

"Afra, papa pulang!"

Wiranto berdiri di depan pintu saat melihat anak gadisnya tengah berdua dengan laki-laki.
Dengan sigap, Satria segera berdiri dan sedikit membungkuk.

"Selamat malam, Om."

Wiranto mendekat, "Selamat malam juga. Kamu yang kemarin, kan?"

Satria mengangguk dan tersenyum.

"Silahkan duduk lagi. Maaf ya, tadi om teriak."

Satria mengangguk, "Iya."

"Mama mana?" Wiranto mengalihkan pandangannya pada Afra.

"Di dapur, lagi masak."

Wiranto menganggukkan kepalanya, "Satria makan malam juga disini saja. Om tinggal ke kamar dulu, ya."

Satria sekali lagi mengangguk, mengiyakan.

"Saya harap kamu paham dengan perasaan saya."

Satria menampilkan senyumnya.

Di saat-saat menegangkan itu. Beruntung, Sheina datang dari dapur dan meminta keduanya untuk makan malam bersama.

"Silahkan dimakan, Satria. Semoga suka, ya."

————————————————————

Satria pulang setelah selesai makan malam dengan keluarga Afra. Sekarang ia tengah berada di perjalanan menuju apartemen. Ia mengingat-ingat kembali apa yang ia katakan tadi pada gadis itu.

Batinnya mengatakan ada sesuatu yang Afra tutupi darinya, yang membuatnya tak bisa menerimanya Satria dengan mudahnya.

Ia harus memikirkan langkah-langkah yang harus ia tempuh selanjutnya. Gadis itu telah mencuri hatinya. Harus ada perjuangan untuk mendapatkannya.

Sementara itu di tempat lain, Afra tengah berdiam diri di kamar miliknya. Setelah Satria pulang, Afra langsung masuk ke dalam kamar dan menguncinya.
Otak dan hatinya perlu difungsikan sekarang.

Pengakuan Satria tadi membuatnya sedikit terkejut, ia tak menyangka bahwa Satria mengatakan itu secara langsung. Tanpa perantara. Dan empat mata.

Ia menggigit bibirnya untuk menahan isakan tangisnya yang kian mencekat.
Ia sangat ingin menumpahkan seluruh apa yang ia rasa. Rasa sakit hatinya, dan semuanya.

Tangannya mengambil ponsel di atas meja dan menghubungi nomor Vale. Sekali, dua kali Vale tidak mengangkat panggilannya.
Pasti ia tidur. Mengingat jam sudah menunjukkan pukul 22.45 WIB.

Baru saja ia akan meletakkan ponselnya, sebuah panggilan masuk datang. Rezi.
Untuk apa dia menelepon malam-malam begini?

Setelah menetralkan nafasnya, ia menerima panggilan itu.

"Halo, kenapa?"

Rezi di seberang sana, mengernyitkan dahinya. Heran.
"Suara lo kenapa? Sakit?"

"Enggak."

"Atau lo lagi nangis?"

Tebakan Rezi benar. Sangat benar.

"Enggak, Zi."

Rezi menghela nafasnya.
"Kalo lo mau nangis, silahkan. Gue dengerin. Mau cerita juga silahkan, gue dengerin."

Menit itu, seluruh tangis Afra kian mencekat. Air matanya berlomba-lomba untuk keluar.
Sesaat kemudian, ia mulai tenang. Nafasnya mulai teratur, meskipun sedikit sesenggukan.

"Udah?"

"Iya. Maafin gue, ya."

"Nggak apa. Gue tau. Inget janji lo sama Abidzar. Lo nggak boleh nangis lagi."

Afra tertawa pelan, "Nggak boleh nangis tapi dia penyebab gue nangis?"

"Nggak gitu, Fra. Dengerin gue, dia juga berat buat ninggalin lo. Dia nggak bisa bilang alasannya kenapa. Tapi satu yang lo inget, dia juga tersiksa disini."

"Nggak dia doang, apa kabar dengan gue?"

"Fra, please ya. Abidzar juga sayang sama lo, dia ngelakuin ini semua buat lo. Dia nggak mau lo terus-menerus kayak gini. Dia juga nggak suka orang yang dia sayang nangis kayak gini."

Afra terdiam sejenak.

"Fra, dunia bakal terasa kejam saat lo memperlakukan diri lo sebagai korban."

"Lo harus tau, bukan lo doang yang jadi korban. Abidzar juga. Gue harap lo paham, ya. Sekarang lo tidur, udah malem."

"Zi. Gue mau ngomong sesuatu."

"Ngomong aja."

"Gue baru kenal cowok, waktu itu dia bantuin gue di rumah sakit. Dan kita ketemu lagi di gerbang sekolah saat itu. Dia bilang kalo dia suka sama gue."

Rezi terdiam. Dugaannya benar. Satria sudah mengatakan perasaannya.

"Terus?"

"Gue nggak tau harus jawab apa."

"Kalo emang sekarang hati lo masih stuck di Abidzar, jangan. Kasian dia. Itu sama aja lo jadiin dia pelampiasan."

"Terus gue harus gimana?"

"Ikuti prosesnya, Fra. Jangan cerita apapun ke dia. Dia nggak tau jadi lo, nggak tau jadi Abidzar, dan nggak tau kalian."

"Gue, kangen banget, Zi."

Rezi tersenyum samar, "I know. Lo harus kuat ya, jangan nangis terus. Kasian Abidzar."

"Gue tidur dulu, ya?"

"Iya, selamat malam. Jangan pikirin apa-apa dulu, ya. Ntar lo sakit."

"Iya."

———————————————————

Alhamdulilah update lagi!

Doain author semoga konsisten terus ya buat update :)

Jangan lupa vote dan komen nya!

Terima kasih, semoga kalian terus bahagia❤️

Abidzar (END) ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang