Abidzar membawa Farah ke apartemen yang pernah ia beli dengan uang hasil patungannya dan si kembar.
Setelah menghubungi si kembar mengenai masalahnya, si kembar langsung menyetujuinya. Membiarkan Abidzar dan mamanya menempati apartemen tersebut.
Apartemen itu dibeli hanya untuk mereka bertiga saat tengah dalam keadaan suntuk, atau hanya sekedar untuk main-main.Si kembar begitu sampai di apartemen, memberikan kuncinya pada Abidzar.
Setelah menangkap kunci yang dilempar oleh Reza, Abidzar membuka pintu apartemen.
Kesan pertama yang dilihat adalah bungkus camilan berserakan dimana-mana."Ayo beresin." komando Rezi.
Saat ketiganya membersihkan apartemen, Farah dan Afra duduk mengunggu di luar.
Farah terus saja meneteskan air mata, mengingat bagaimana suaminya memperlakukannya dan Abidzar seperti ini."Tante yang sabar, ya. Mungkin Om Harri lagi ada masalah."
Afra tersenyum. Tangannya menggenggam tangan Farah untuk memberinya kekuatan. Ia menggenggam tangan itu seperti menggenggam tangan Sheina.
Hangat.
Tangan seorang ibu yang sedang sedih.
Ia yakin tak ada anak yang mampu melihat ibunya menangis sedih.
Ia pernah ada di posisi Abidzar.Saat itu Sheina dan Wiranto tengah bertengkar hebat. Sebelum Sheina memutuskan untuk menjadi seorang ibu rumah tangga, ia pernah menjadi pegawai kantor yang membuatnya pulang larut malam setiap hari dan tak ada waktu untuk keluarga.
Beberapa hari mereka bertengkar, hingga ada kata "Pisah", membuat Afra kecil bergetar ketakutan.
Setelah kejadian itu, ia sakit dan harus dirawat di rumah sakit dalam beberapa minggu.
Ia bahkan ketakutan saat melihat kedua orang tuanya yang menunggunya di rumah sakit, pikirannya selalu melayang pada kejadian itu.Syukurlah, setelah kejadian itu mereka tak pernah bertengkar. Menurunkan ego masing-masing, Sheina lebih memilih untuk resign dari pekerjaannya dan menjadi ibu rumah tangga.
"Terima kasih." Farah mencoba tersenyum di tengah tangisannya.
Afra mengangguk.
"Mama, ayo istirahat."
Farah menoleh, ia menatap putranya yang tersenyum. Ia tau sebenarnya apa yang dirasakan putranya namun ia mencoba menutupinya. Abidzar mengangguk, meyakinkan.
"Kamu pulangnya sama si kembar, ya? Maaf, aku nggak bisa nganter."
Abidzar memberitahu.
Afra mengangguk pelan, setelah berpamitan ia segera masuk ke mobil si kembar.
Di dalam perjalanan, ia hanya diam.
Melihat sisi kanan kiri mobil. Pikirannya melayang entah kemana. Memikirkan semua kemungkinan-kemungkinan."Jangan terlalu berharap banyak sama Abidzar."
Afra menatap Reza yang baru saja mengatakan kalimat itu. Kedua alisnya terangkat, bingung atas kalimat yang dilontarkan Reza.
"Maksudnya?"
"Kita tau, lo berharap banyak sama Abidzar. Tapi, gue nggak mau nantinya lo juga kecewa banyak sama Abidzar."
"Gue nggak paham kalian ngomong apa."
"Tinggalin Abidzar."
Pandangan Afra menajam. Menatap si kembar dengan bingung.
"Maksudnya apa?"
"Just information,"
————————————————————
Setelah sampai di rumah, Afra masih saja memikirkan kalimat yang dilontarkan si kembar padanya.
Apa maksud dari itu semua?Ia menatap langit-langit kamarnya dengan segala pikiran yang berkecamuk di kepalanya.
Di tempat lain, Abidzar tengah merokok di balkon apartemen. Setelah menunggu Farah hingga tertidur, ia melepaskan semua bebannya dengan rokok, teman terbaiknya sejak SMP.
Ponselnya berdering, membuatnya harus menghentikan aktivitas merokoknya.
Ia mengangkat panggilan itu dengan malas."Ingat janji kamu! Tinggalkan gadis itu, segera!"
"Hm."
"Papa serius, Abidzar!"
"Ya."
"Papa tunggu!"
Abidzar menghela nafas lelah. Hatinya terlalu lemah saat melihat senyuman Afra.
Ia semakin tak tega saat nantinya akan membuatnya menangis karenanya.
Namun semua sudah terlanjur, ia harus memilih jalan ini.
Ia sudah memikirkan resiko yang akan terjadi."Selamat tinggal."
————————————————————
Afra sudah sampai di apartemen kemarin. Ia sangat khawatir dengan keadaan Abidzar, dari kemarin malam ia tak dapat dihubungi. Nomornya selalu mati.
Untuk memastikan, ia datang ke apartemen menggunakan taksi.Belum sempat ia mengetok pintunya, Abidzar terlebih dahulu membuka pintunya.
"Hai."
Melihat senyuman Afra, membuatnya tak tega. Ia memasang wajah datar yang dulu ia tunjukkan pada Afra.
"Ngapain kesini?"
Afra berkedip, memastikan pertanyaan yang baru saja dilontarkan oleh Abidzar.
"Aku mau jenguk mama kamu, ini ada sesuatu dari mama." Afra tetap memasang senyumnya.
"Pulang aja. Bawa itu."
Afra menelan ludahnya kasar. Pikirannya melintas saat kemarin malam. Di saat si kembar mengatakan kalimat itu.
Ia menggelengkan kepalanya, mencoba mengusir bayang-bayang itu."Aku kesini mau jenguk kamu. Kamu kemana aja? Dari kemarin nggak bisa dihubungi."
"Nggak kemana-mana."
Belum sempat ia melontarkan pertanyaannya, Abidzar menyelanya.
"Lebih baik kita kembali kayak dulu. Nggak seperti ini. Gue nggak nyaman."
Afra menahan air matanya yang ingin menetes.
"Maksud kamu apa? Kalau aku ada salah, bilang. Jangan gini."
"Kita kembali jadi temen, paham?"
"Tapi kenapa? Apa alasan kamu?"
"Gue cuman suka kita yang dulu. Bukan yang sekarang!"
Mendengar nada tinggi Abidzar, membuat pertahanannya lemah. Air mata yang dari tadi ia tahan, akhirnya menetes.
"Gue nggak pernah sayang sama lo. Gue harap lo paham."
"Nggak, kamu pasti bohong!"
"Gue nggak bohong. Apa gunanya gue bohong? Sekarang, lo pergi."
"Nggak. Kamu pasti lagi main-main sama aku. Jawab jujur, Abidzar."
"Gue jujur. Gue nggak pernah sayang sama lo! Selama ini gue cuman kasihan sama lo, paham?!"
————————————————————
Tahan! Nggak boleh hujat, hehe
Maaf ya baru update, insyaallah bakal double update ❤️
Vote dan komen, jangan lupa!!!
KAMU SEDANG MEMBACA
Abidzar (END) ✅
RomanceKisah mengenai perjuangan Afra Hanina untuk mendapatkan hati seorang Abidzar Adhitama, cowok yang suka dengan Hoodie berwarna putih. Berkali-kali usaha yang dilakukan Afra untuk mendapatkan hati Abidzar, dan berkali-kali pula Abidzar mencoba untuk m...