Dia

159 8 0
                                    

Sedari tadi Afra hanya diam, untuk makan dan minum obat pun ia tak mau. Sesekali hanya memejamkan matanya lalu menatap kosong ke depan. Meneteskan air mata dan diusap oleh Vale.
Mereka sengaja ditinggal berdua oleh Sheina, agar Afra dapat lebih terbuka lagi dengan Vale. Setelah kedatangan Wiranto, Sheina berpura-pura mengajaknya ke kantin rumah sakit, mencari makan.

"Cerita dong, Fra. Lo jangan gini, kasian orang di deket lo."

Vale tak mampu melihat sahabatnya seperti ini. Ini pertama kalinya Afra bersikap seperti itu. Memang cinta dapat membutakan segalanya.

"Lo nggak capek? Lo juga butuh makan, jangan terus gini."

"Lo selalu nangis, air mata lo nggak habis?"

Vale menghembuskan nafas lelah, ia sungguh tak bisa membujuk sahabatnya ini.
"Gue keluar dulu, ya."

Di luar, si kembar tengah berjalan ke arahnya. Si periang Reza dan si pendiam Rezi. Demi apapun, hari ini Rezi sangat tampan. Ia mengalihkan pandangannya, menghindari tatapan Rezi.

"Hai, Val. Gimana Afra?" Reza mengawali. Tangannya membawa buah-buahan.

"You know lah, orang patah hati gimana."

Reza menganggukkan kepalanya, ia memberikan buah-buahan yang ia bawa pada Rezi.

"Gue duluan." pamit Rezi lalu masuk ke dalam ruang inap Afra.

"Fra."

Rezi mendekat, buah yang ia bawa ia taruh di nakas sebelah ranjang Afra dirawat.

"Gue Rezi."

Afra mengangguk pelan, "Gue tau." suaranya tengah berbisik.

"Mau sampe kapan lo kayak gini? Udah disakitin, lebih baik lo pergi. Gue nggak mau lo selalu gini, kasihan semua orang."

Afra menggeleng, "Gue udah capek."

Rezi menggenggam tangan Afra, tangan ini yang pernah menguatkan Abidzar dan saat ini ia genggam.

"Gue tau. Jadi lo harus pergi, nggak ada alasan lo buat tetep disini."

Afra menggeleng.

"Lo tau? Kadang Tuhan menjauhkan kita dari seseorang yang salah untuk dipertemukan dengan orang yang lebih baik."

Afra tetap menggeleng.

"Kadangkala, yang lo rasa terbaik itu belum tentu terbaik di mata Tuhan."

"Gue capek. Kenapa hubungan yang gue bangun mati-matian harus berakhir kayak gini? Kenapa?!"

Rezi mengusap air mata yang menetes dari mata Afra.
"Selalu ingat. Setelah hujan, pasti ada pelangi yang yang muncul. Lo pasti bahagia, sampe lo lupa rasa sakit."

Tangisnya semakin mencekat. Ia meremas selimut yang menutupi sebagian tubuhnya. Afra memutuskan untuk berbaring memunggungi Rezi.

"Rencana Tuhan lebih baik dari rencana kita, Fra. Gue pamit, ya? Lo cepet sehat."

Selangkah sebelum menggapai pintu, suara Afra membuatnya terhenti.

"Apa itu artinya gue nggak bisa balik sama dia?"

Rezi menatap punggung Afra.
"Gue nggak tau. Lo harus tetep kuat."

————————————————————

Abidzar yang tengah menunggu si kembar di lobby rumah sakit hanya dapat diam. Ia harus tetap melihatnya kondisi Afra dengan mata kepalanya sendiri. Namun di sisi lain ia ragu. Ragu dengan dirinya sendiri.

Si kembar datang dari arah selatan, keduanya menatap Abidzar dengan santai.

"Gimana?"

"Dia? Lumayan. Tapi tetep patah hati."

Abidzar yang mendengarnya semakin tak tega. Ini semua pasti perbuatannya.

"Lo jangan kesana dulu. Dia butuh banyak istirahat."

Memilih patuh dengan saran Rezi. Abidzar dirangkul Reza untuk pulang.

Sedangkan di lain tempat, Satria tengah mengemudi mobilnya menuju rumah sakit Harapan Bunda guna menjenguk temannya yang baru saja kecelakaan. Rasanya ia sudah lama tak mengendarai mobilnya ini. Setelah memarkirkan mobilnya, ia melangkah masuk ke rumah sakit dan mencari ruangan yang diberitahukan temannya.

Di temannya, Satria menjenguknya dalam waktu dua jam sambil berbicara santai mengenai kehidupannya di luar negeri.

Saat matahari sudah terbenam, ia pun pamit pulang. Di koridor ia melihat seseorang perempuan tengah kesulitan berjalan sambil membawa infusnya.
Lantas ia menghampiri lalu menawarkan bantuan.

"Biar saya tolong," Satria menawarkan diri.

Gadis itu mendongak terkejut, lelaki ini sepertinya mau menolongnya, ia lantas mengangguk.

"Kamarnya dimana?" Satria bertanya.

"Melati no 2,"

Satria menolehkan kepalanya ke kanan dan kiri mencari ruangan yang dimaksud sang gadis. Sesampainya di depan pintu kamarnya, gadis itu mengucapkan terima kasih.

"Kita belum kenalan. Perkenalkan, Satria."

Gadis itu menjabat tangan Satria, "Terima kasih, saya duluan."

Satria mengangguk, ia membantu menutup pintu kamar Afra.
Lalu melangkah menuju parkiran, sambil memegangi dadanya yang terasa berdebar-debar lebih dari biasanya.

"Cantik banget, gila."

————————————————————

Hai!!

Double update ❤️❤️❤️

Kalian tim AbidzarAfra atau SatriaAfra?

Ini baru awal pertemuan Satria dan Afra!!!

Tetep tim Abidzar atau oleng ke bang Satria?

Tetep dukung Abidzar, yaa!!!

Love ❤️

(Untuk foto, next chapter yaa. Koneksi internet nya susah. Maafkan)

Abidzar (END) ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang