Abi atau Satria?

139 7 0
                                    

Sesuai janjinya, Afra menemui Abidzar di cafe daerah sekolah. Jam sudah menunjukkan pukul 16.30, sudah setengah jam ia menunggu tapi Abidzar masih belum menampakkan dirinya.
Berkali-kali pelayan cafe menanyakan pesanannya dan hanya dijawab gelengan kepala Afra. Ia akan memesan bersama Abidzar nanti.

Jujur saja, ia masih takut untuk bertatap muka langsung dengan mantan pacarnya itu akibat insiden salah kirim lusa kemarin. Namun ia harus meluruskan hal itu agar tidak berlarut-larut menjadi masalah besar.

Pikiran negatifnya tak bisa diajak kompromi. Setiap malam ia selalu memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang akan dilakukan Abidzar. Seperti ia membuka aibnya pada orang lain? Ah jangan sampai, lebih baik ia menghilang selamanya.

Bunyi bel pintu di cafe membuyarkan lamunannya. Sosok yang ditunggu sejak tadi akhirnya datang. Seperti biasa, ia selalu mengenakan Hoodie polos berwarna putih.
Tatapan yang dulu pernah menatapnya hangat sekarang sudah tidak ada lagi. Hanya ada tatapan dingin yang ia terima sekarang.

"Ada apa?" Abidzar memulai pembicaraan.

Afra membenarkan posisi duduknya dan menatap lurus ke arahnya.
"Aku minta maaf masalah kemarin."

Sudah ia tebak. Afra akan mengatakan itu. Dari awal ia pasti akan membicarakan masalah itu. Masalah yang membuat hubungannya dengan Satria semakin merenggang.

"Itu murni nggak sengaja. Kalau mau aku bisa tunjukkan chat aku sama diri aku sendiri."

Afra bersiap membuka tas untuk mengeluarkan ponselnya tapi dicegah oleh Abidzar.

"Nggak perlu. Mau lo tunjukkin apapun, gue tetep nggak akan percaya."

Afra mendecak kesal. "Bisa nggak sih, jangan memperkeruh keadaan?"

"Siapa yang memperkeruh keadaan?"

Afra terdiam. Matanya menatap tajam Abidzar.

"Yang memperkeruh keadaan lo atau gue?"

Telak, Abidzar berkata seenaknya.

"Lagian gue juga nggak mau foto itu salah kirim. Lo aja yang berpendapat sesuka lo." Afra membalasnya.

Diluar dugaan Afra, ia kira Abidzar akan marah. Justru ia malah tertawa pelan, seolah hal lucu baru saja terjadi.

"Tapi sayangnya, gue udah kasih tau Satria."

Afra menggeram kesal, tangannya melayangkan tamparan keras untuknya.

"Brengsek!"

———————————————————————

Diam-diam Abidzar mengikuti Afra pergi. Setelah kejadian di cafe tadi, yang mengakibatkan bekas merah di pipinya, serta tatapan mengintimidasi dari setiap orang di cafe padanya. Lupakan itu.

Ia masih mengendarai sepeda motornya mengikuti taksi yang ditumpangi Afra. Hingga taksi itu berhenti di salah satu perpustakaan kota yang pernah ia datangi dengan Afra dulu.

Setelah memarkirkan motornya dan menunjukkan kartu identitasnya, ia mencari Afra diantara rak-rak buku yang tersusun. Terlihat, Afra tengah berada di pojokan perpustakaan dengan sebuah buku di tangannya.

Saking fokusnya Afra, ia tidak sadar kalau sebuah pot bunga kecil sebagai hiasan yang berada di bagian rak atas hampir jatuh mengenai kepalanya.

Secepat kilat Abidzar menggapai lengan Afra untuk menghindar. Berhasil!
Tapi seseorang melindungi Afra dibelakangnya sehingga kepalanya lah yang menjadi korban.

"Satria?!"

"Bang!"

Bukannya panik, Satria malah mengecek keadaan Afra yang berada di punggungnya.

"Kamu gapapa?"

Afra menggeleng. Ia menaruh buku yang tadi dibawanya ke rak buku di sebelahnya.

"Pelipis lo berdarah."

Satria mengangguk pelan, "Saya baik-baik aja."

Pandangan Satria bertemu dengan Abidzar yang memperhatikan dirinya dan Afra.

"Maaf mengganggu kalian." Satria undur diri.

Belum sempat ia melangkah, Abidzar menahan pundaknya. Tatapannya menatap melas ke arah abangnya itu.

"Kita ke klinik bang."

Satria menggeleng, berusaha menolak.

"Gue nggak nerima penolakan bang."

Tak memperdulikan penolakan Satria, Abidzar memapahnya hingga klinik samping perpustakaan berada.

10 menit menunggu, Afra dan Abidzar saling bertatapan dalam diam.

"Lo cocok sama bang Satria." Abidzar mengulas senyum tipis.

Afra terkejut mendengarnya. Ia kira Abidzar akan memakinya karena ia melukai Satria tapi malah sebaliknya.

"Gue nggak—"

Kalimat Afra terputus karena petugas mempersilahkan keduanya masuk. Terpaksa, pembicaraan mereka harus terhenti.
Keduanya masuk bersama dan melihat Satria tengah duduk bersandar di kursi dengan perban di pelipisnya.

"Bang." Abidzar memanggilnya.

"Bisa bicara sebentar? Maksud gue, kita. Kita bertiga."

———————————————————————

Yaah gantung hehe

Mau tau sih seberapa penasaran kalian sama chapter selanjutnya!

Vote dan komen ya, semakin banyak vote nya semakin cepet update!

Kalian tetep tim Abidzar atau tim Satria?

Big love!

Abidzar (END) ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang