Setelah puas melampiaskan amarahnya, Abidzar menengguk sebotol air mineral dan meremas botolnya. Sekarang, pikirannya tidak seberantakan seperti tadi. Ia rasa, saatnya berbicara empat mata dengan Satria. Ia harus meluruskan situasi ini.
Tepat sekali. Mesin mobil Satria terdengar sampai ruang rahasianya. Membanting pintu, ia berlari menuju Satria yang tengah memarkirkan mobilnya.
"Bang,"
Panggilan itu terasa dingin. Sebelum Satria membawa Afra ke rumahnya dan mengenalkannya sebagai calon pacarnya, Satria sangat senang mendengar panggilan itu dari mulut adiknya.
"Apa?" Satria acuh tak acuh. Sebenarnya ia juga penasaran mengapa Abidzar memanggilnya setelah seminggu tak bertegur sapa.
"Gue perlu ngomong."
Satria menaikkan alisnya, ia berjalan memasuki rumah dan diikuti Abidzar.
"Apa?"
"Lo masih berhubungan sama Afra?"
"Kalo iya, kenapa?" Satria menaikkan sedikit alisnya. Heran. Pasalnya sudah seminggu ini keduanya tak bertegur sapa. Dan tiba-tiba saja Abidzar bertanya tentang Afra padanya.
Abidzar mengambil ponselnya di saku celanan training yang ia pakai, tangannya mengotak-atik sebentar lalu menunjukkan foto yang Afra kirim padanya. Mata Satria mendadak melotot terkejut melihatnya.
"Apa itu foto yang mau dikirim ke lo?"
Detik selanjutnya ia mengepal tangannya dan meninju pipi adiknya. Abidzar yang tak siap pun terhuyung ke samping menerima serangan mendadak dari Satria. Belum selesai rasa terkejutnya, Satria sudah mendorong badannya ke tembok dan mencengkeram lehernya. Mata Satria memandangnya marah, seolah ia siap menghabisi dirinya saat itu juga.
"LO KIRA GUE SERENDAH ITU?!" Teriak Satria di depan wajahnya.
"Bang, gu-e gak ngajak ri-but" Abidzar berusaha menormalkan nafasnya.
"LO EMANG BRENGSEK, BI! BISA-BISANYA LO NUDUH GUE?!"
Sekuat tenaga, Abidzar melepaskan dirinya dari cengkraman Satria dan berhasil. Ia yakin lehernya pasti memerah akibat ulah Satria.
"Bagus kalo Afra ninggalin lo yang nggak tau diri" Satria memasang senyum miringnya. Ia menatap remeh pada Abidzar.
Mendengar kalimat itu, darah Abidzar seolah mendidih. Ia maju mendekati Satria lalu mendorongnya hingga terjatuh.
"UDAH GUE BILANG, GUE GAK NGAJAK RIBUT, ANJING!"
Kedua kakak beradik itu terjebak perkelahian yang sengit. Tidak ada yang mengalah di dalam pertengkaran itu. Hingga suara tangisan meredam pertengkaran yang tengah terjadi itu. Di ambang pintu, Farah tengah menangis melihat kedua putranya saling melukai satu sama lain.
Hati Ibu mana yang tega melihatnya?
"Sudah. Mama mohon sudah" Terdengar suaranya bergetar. Farah sendiri tengah memasak dan tidak sengaja mendengar teriakan keduanya. Setelah mematikan kompor, ia berlari menuju sumber suara dan alangkah terkejutnya ia saat melihat kondisi lebam putra-putranya.
Abidzar menyeka kasar luka di sudut bibirnya, lalu melenggang keluar meninggalkan kedua orang itu. Ia mengambil kaos dan jaket serta kunci motornya lalu pergi dari rumah.
Di sisi lain, Satria menatap kasihan pada Farah yang tengah bergetar menangis. Langkah kakinya mendekat ke arah Ibunya.
"Mam," Satria mengelus pundak ibunya.
"Kenapa kamu pukul adik kamu, Satria?"
Satria bungkam mendengar pertanyaan yang diajukan oleh Farah. Ia menunduk malu, sejujurnya saja ia tak punya alasan lebih untuk memukul Abidzar. Hanya saja melihat foto Afra, membuatnya hilang kendali.
"Apa dulu Mama mengajari kamu seperti itu?"
"Kalian anak Mama. Mama nggak pernah pilih kasih, tapi kenapa?"
Satria berlutut di hadapan Farah, ia memeluk kaki ibunya itu.
"Ma, maaf. Satria bukan Abang yang baik."———————————————————————
Abidzar mengendarai motornya tak tentu arah. Ia hanya ingin berputar-putar mengelilingi kota. Pikirannya perlu ia istirahatkan. Tak peduli dengan bekas luka dan lebam-nya.
Setelah hampir sejam mengelilingi kota, ia memutuskan untuk mengunjungi gadis kecilnya.
Sampai disana, benar saja gadis kecilnya itu tengah makan disuapi sepupunya."Abangg!" teriak Aera saat Abidzar meletakkan helm.
"Hai cantik," Tangannya mengangkat tubuh mungil Aera ke gendongannya dan mengambil alih makanan Aera.
"Aera kangen. Mana kakak cantiknya? Es krim Aera mana, bang? Kok sendiri terus sih? Temen abang yang kembar itu nggak kesini?"
Abidzar terkekeh menanggapinya. Tangannya mencubit pipi Aera yang berisi.
"Kalo nanya satu-satu, Abang bingung mau jawab yang mana dulu."Mata Aera menyipit saat melihat bekas luka kebiruan yang ada di wajah Abidzar.
"Muka Abang kenapa?"Abidzar meringis pelan saat tangan mungil Aera menyentuh salah satu luka itu. Ia tersenyum kecil, tangannya mengelus rambut bocah itu.
"Nggak apa-apa. Abang tadi jatuh."
Syukurlah Aera dengan mudahnya percaya dengan alasan yang ia berikan. Selesai makan, Aera membawa kapas dan air.
"Aera mau obatin luka Abang."
Abidzar tak mampu menahan senyumnya, ia membiarkan saja Aera mau melakukan apa saja.
"Nanti kalo Aera udah besar, Aera mau jadi dokter. Biar bisa obatin Abang lagi."
"Iya, belajar yang pinter biar jadi dokter."
"Iya Abang. Aera sayang Abang!"
———————————————————————
Hai semua!!!
Gimana sama part ini?
Maaf baru update.
Jangan lupa vote dan komen yaa!!!
Big love!
KAMU SEDANG MEMBACA
Abidzar (END) ✅
RomansaKisah mengenai perjuangan Afra Hanina untuk mendapatkan hati seorang Abidzar Adhitama, cowok yang suka dengan Hoodie berwarna putih. Berkali-kali usaha yang dilakukan Afra untuk mendapatkan hati Abidzar, dan berkali-kali pula Abidzar mencoba untuk m...