07. | Majapahit - Mahapatih Mada

17.5K 2.4K 32
                                    

Aku menghela napas berat di depan cermin dengan bingkai kayu yang berukir. Penampilanku sangat berbeda sekarang. Persis seperti penari tradisional Jawa. Hanya saja tidak memakai make up dan rambut yang tidak digelung, tetapi diikat ke belakang dengan sebagian darinya dibiarkan terurai.

"Ndoro sangat cantik," ucap Wangi usai menutup bahuku dengan selendang sutra berwarna oranye.

Aku hanya tersenyum. Memang banyak teman-teman yang memuji seperti itu, tetapi tidak kuhiraukan karena aku orangnya mudah besar kepala. Lagipula, bukankah semua perempuan itu cantik? Ya iyalah, masa ganteng sih.

"Wangi, kau tak perlu memanggilku dengan embel-embelan 'Ndoro'. Cukup panggil namaku saja." Aku menatap Wangi yang berdiri di belakangku melalui cermin. "Dewi juga boleh," tambahku sedikit lirih karena panggilanku pada umumnya. Hanya Hayam Wuruk yang memanggilku dengan nama "Kirana".

"Tidak, Ndoro. Saya lebih nyaman seperti ini," balas Wangi yang membuatku menghela napas berat. Perempuan itu sepertinya tidak akan mengubah panggilan untukku meskipun aku paksa hingga puluhan kali. Wangi memang sangat sopan.

Tak meneruskan masalah tentang panggilan 'Ndoro', aku memutuskan keluar dari kamar, diikuti oleh Wangi.
Tepat aku keluar dari sana, tak sengaja aku bertemu dengan Hayam Wuruk. Di belakang laki-laki itu ada empat prajurit.

Hayam Wuruk berhenti melangkah. Dia menatapku dengan sorot mata yang tak terbaca. Namun, satu yang kuyakini, siapapun yang ditatap seperti itu akan menjadi salah tingkah. Seperti diriku saat ini.

"Ada apa, Baginda?" tanyaku ragu. Tidak lupa menunduk hormat. Mengingat sedang berada di keraton, tentu aku harus berlaku sopan dan hormat kepada sang maharaja.

Hayam Wuruk menoleh ke empat pengawalnya. Laki-laki itu lalu berkata, "Tinggalkan kami berdua."

Tanpa diminta dua kali, mereka menunduk hormat, lantas pergi. Begitu juga dengan Wangi sehingga hanya menyisakan diriku dan Hayam Wuruk.

"Sudah kubilang, panggil saja Hayam Wuruk," katanya.

Aku hanya tersenyum canggung. Kurasa, menyebut namanya langsung sangatlah tidak sopan. Lagipula, jika ada anggota kerajaan yang mendengarnya bagaimana? Bisa-bisa mereka berpikiran bahwa aku berlaku sangat kurang ajar terhadap raja Kerajaan Majapahit.

"Kau ingin pergi ke mana?"

"Hanya ingin melihat-lihat seisi keraton," balasku sopan. Mengingat jika aku di sini hanya menumpang, tidaklah baik apabila diriku hanya berdiam diri di dalam kamar. Mungkin dengan berkeliling di keraton ini aku bisa membantu pekerjaan para dayang. Meskipun mereka tak mengenaliku dan pastinya bingung dari mana asalku.

"Kalau begitu, biar kutemani."

Secepat mungkin aku menolaknya. Aku hanya ingin berkeliling sendirian supaya bisa bergerak dengan bebas. Berada di dekatnya sungguh membuatku harus bisa menahan diri dengan tenaga ekstra agar tidak melakukan hal-hal aneh ataupun tidak sopan yang akan berakibat fatal nanti.

Selain itu, jika aku pergi sendirian, maka orang-orang tak akan menghiraukan keberadaanku. Berbeda jika aku berjalan bersama Hayam Wuruk. Maka kemunculan sosok diriku akan menjadi sebuah tanda tanya besar bagi orang-orang yang ada di keraton ini.

"Bagin-" lagi-lagi aku salah dalam memanggilnya. "Aku tahu, kau orang yang sibuk, Hayam Wuruk. Jadi, aku tidak ingin membuat waktumu terbuang sia-sia. Lagi pula, aku bisa berkeliling dengan Wangi." Aku berujar dengan suara pelan, setengah berbisik, takut jika ada yang mendengarnya.

"Aku punya sedikit waktu luang hari ini. Jadi, ayo!" ajaknya yang kemudian memintaku untuk berjalan beriringan dengannya meninggalkan lorong depan pintu kamarku.

Cinta Untuk Sri RajasanagaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang