"Aku baik-baik saja."
Aku hanya menghela napas berat. Tak lama kemudian, aku teringat sesuatu. Bukankah kerajaan Majapahit memiliki prajurit yang hebat? Kalau tidak salah, namanya Bhayangkara, bukan?
"Aku mau melihat pasukan perang Majapahit, Hayam Wuruk." Aku berusaha mengalihkan topik pembicaraan. Aku sungguh pusing terus-terusan mendapat pertanyaan seputar pernikahan.
"Kau ingin melihatnya?" Hayam Wuruk terlihat ragu.
Aku langsung mengangguk. Tidak dapat dipungkuri, aku benar-benar ingin melihat pasukan itu secara langsung.
Hayam Wuruk tersenyum. "Baiklah." Kemudian, ia beranjak dari kursi kayu dan meraih tanganku kananku untuk ia genggam. Seketika jantungku berdebar-debar. Padahal, ini bukan kali pertama laki-laki itu menggandeng tanganku seperti sekarang ini.
Berjalan beriringan, kami berdua kemudian sampai di sebuah bagian keraton yang memiliki tanah lapang yang cukup luas. Tidak berumput. Sepertinya itu tempat yang biasa digunakan untuk latihan para prajurit.
"Mereka adalah pasukan Bhayangkara." Hayam Wuruk menunjuk beberapa prajurit yang keluar dari pendopo yang ada di dekat tanah lapang itu. Sepertinya mereka hendak latihan.
Aku mengangguk paham. Lalu, kami berdua memutuskan untuk berdiri di bawah pohon maja sambari menonton latihan.
"Kau tahu, Hayam Wuruk, aku sangat mengagumimu." Aku berucap sembari menyingkirkan anak rambut yang menutupi wajah akibat terkena angin. Pandanganku yang tadinya terarah ke tengah-tengah lapangan kini beralih menatap laki-laki yang berdiri di sebelah kananku.
Hayam Wuruk langsung menoleh. Salah satu alisnya dalam keadaan terangkat. Mungkin ia merasa heran, kenapa aku tiba-tiba berkata seperti itu.
"Apa yang membuatmu kagum kepadaku, Kirana?"
Aku tersenyum simpul. "Kau raja yang hebat dan peduli terhadap rakyat. Kau memang sangat pantas untuk dikenang."
"Sudah menjadi keharusan seorang raja untuk peduli terhadap rakyatnya, Kirana." Ia terdiam sejenak. " Hanya itu?"
Seketika aku mengerutkan kening. "Apa?"
"Kau kagum kepadaku karena itu saja?"
Dengan segera aku menggeleng. "Ada lagi." Tersenyum, aku kemudian melangkah mendekati Hayam Wuruk untuk membisikkan sesuatu tepat di dekat telinganya. "Karena kau sangat tampan dan gagah, Hayam Wuruk."
"Kau sangat pintar menggoda, Kirana. Aku tak akan membiarkanmu dekat dengan laki-laki lain. Bisa-bisa, mereka tergoda olehmu." Ia memasang raut was-was.
Aku menggeleng. Tak setuju dengan ucapannya. "Aku bukan perempuan yang mudah kagum dengan seorang laki-laki. Jujur, kau adalah satu-satunya laki-laki yang membuatku kagum.
Hayan Wuruk tersenyum. Kami berdiri saling berhadapan, dengan tangannya yang mulai membelai rambut hitamku. "Sebaiknya kita kembali ke keraton. Matahari mulai terik. Aku tak mau kulitmu terbakar."
Aku mengangguk setuju.
Di perjalanan menuju keraton, aku kembali teringat ucapan kakek tua yang kutemui di candi Bajang Ratu. Kata beliau, pada masa Majapahit, sudah ada sifat toleransi. Beliau juga mengatakan, agama Buddha sudah ada di Nusantara sewaktu masa Majapahit sehingga hidup berdampingan dengan agama Hindu. Aku menjadi penasaran, apakah hal itu benar atau tidak.
"Di sini, sudah ada agama Buddha, ya?"
Tak lama kemudian, Hayam Wuruk menjawab, "Iya." Laki-laki itu lantas menatapku. "Terkadang aku bingung denganmu, Kirana. Seolah-olah kau bukan berasal dari sini."
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta Untuk Sri Rajasanagara
Historical FictionDewi Kirana Candramaya, namanya. Gadis pindahan dari Jakarta yang sama sekali tidak menyukai pelajaran Sejarah, tiba-tiba muncul di masa kerajaan agraris terbesar di Nusantara, Kerajaan Majapahit. Kirana tidak percaya dengan adanya cinta. Namun, kep...