17. | Majapahit - Membatik

10.9K 1.5K 51
                                    

Aku tertegun saat dirinya berhenti berjalan dan berbalik. Tatapan kami bertemu. "Tapi, aku masih mencintaimu, Kirana," lanjutnya yang membuat hatiku tersentuh.

"Aku minta maaf karena sudah membuatmu marah. Aku tidak bermaksud seperti itu. Aku sungguh mencintaimu. Aku tidak berbohong." Semoga saja ia mempercayainya.

"Jika kau benar-benar mencintaiku, menikahlah denganku, Kirana. Jadilah permaisuriku."

Aku tak bisa. Tapi, hatiku benar-benar tidak rela jika aku menolaknya. Rasanya tidak ikhlas apabila ada perempuan lain yang berada di sisinya. Bagaimana ini?

"Baiklah," ucapku final. "Baiklah, Hayam Wuruk. Aku bersedia menjadi permaisurimu."

Sebuah senyuman tulus terbit di wajah tampannya. "Aku akan mempersiapkan pernikahan kita."

Buru-buru aku berkata, "Tunggu dulu! Aku bersedia menikah denganmu, tetapi jangan terlalu cepat. Aku mau kita menikah beberapa bulan lagi."

Hayam Wuruk mengernyitkan dahi. "Kenapa? Bukankah lebih cepat lebih baik?"

Aku menghela napas berat. Ya tidak semua hal lebih cepat lebih baik, Baginda.

"Aku belum siap. Bisakah kita seperti ini dulu?"

"Baiklah, Kirana. Namun, aku tidak mau menunggu lama." Hayam Wuruk berjalan ke arahku. Setelah kami berdiri berhadapan, ia mengusap rambutku dan menyelipkan beberapa helai rambut ke belakang telinga.

"I love you." Aku berkata lirih, tetapi masih dapat didengar oleh Hayam Wuruk.

"Apa itu?"

Seketika aku ingin menepuk dahi. Aku baru sadar jika tadi aku berkata menggunakan bahasa Inggris. Mana paham dia.

"I-itu bahasa daerah lain. Yang artinya, aku mencintaimu." Aku tersenyum kikuk.

Hayam Wuruk mengernyitkan dahi. Ia seperti mencoba mengingat sesuatu. "Ai of yu?"

"Bukan, bukan ai of yu, tapi i love you." Aku memperjelas cara pengucapannya.

Hayam Wuruk tampak bergeming, sepertinya ia sedang berlatih untuk mengatakan serta mengingatnya. Laki-laki itu tampak sungguh menggemaskan.

"I love you, Kirana."

***

"Sampai bertemu nanti, Kirana." Hayam Wuruk tersenyum setelah memakai mahkota emasnya yang tadinya berada di atas meja samping tempat tidurku. Semalam, laki-laki itu tidur di kamarku. Bahkan kami tidur di ranjang yang sama. Hanya tidur, tidak lebih.

Jika saja Hayam Wuruk tidak memiliki urusan penting, maka aku tidak akan membiarkannya pergi karena aku masih ingin berduaan dengannya.

Seakan teringat sesuatu, aku menahan tangan laki-laki itu yang hendak membuka pintu kamar. "Tunggu dulu, Hayam Wuruk. Apa kamu akan keluar begitu saja dari sini?"

Hayam Wuruk mengernyitkan dahi. "Iya. Memangnya apa lagi yang harus aku lakukan?"

Aku berdecak kecil. "Orang-orang pasti akan curiga jika melihat kamu keluar dari kamarku sepagi ini. Bagaimana jika mereka berpikiran yang tidak-tidak tentang kita?"

"Mungkin saja curiga, tetapi apa peduliku."

Aku mendengkus, tidak percaya jika Hayam Wuruk langsung keluar begitu saja.

***

Setelah mandi, aku pergi bersama Wangi ke pendhopo yang digunakan sebagai tempat membatik. Ya, kali ini aku ingin mencoba membatik lagi. Insiden terkena lelehan malam sudah tak kuhiraukan dan entah kengapa aku kembali tertarik untuk belajar membatik.

Cinta Untuk Sri RajasanagaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang