Aku mengusap lengan. Duduk di dekat tungku dengan api yang menyala sangat membantu tubuhku untuk melawan hawa dingin yang kian menjadi-jadi. Terlebih lagi dengan tubuh yang hanya mengenakan jarik serta kemben seperti ini.
Menggosok-gosokkan telapak tangan sembari sesekali menempelkannya di pipi, kedua mataku berbinar tatkala nenek membuka tutup kuali yang ada di atas tungku. Pada saat itu juga, kepulan asap yang tadinya terjebak di dalam sana tampak berlomba-lomba berebutan keluar.
Usai uap tersebut berkurang menjadi tak terlalu pekat, aku melihat ada beberapa buah singkong yang telah direbus tersimpan di dalam kuali tersebut. Segera saja aku membantu memindahkan beberapa singkong rebus ke piring yang terbuat dari tanah liat.
Meskipun hanya singkok rebus, tetapi berhasil membuat perutku keroncongan. Terlihat sangat menggiurkan jika dalam keadaan lapar seperti sekarang ini.
"Tolong bawakan di dipan depan rumah saja, Nak. Kita makan bersama-sama di sana."
Aku mengangguk patuh.
"Nama Nyisanak siapa?" Setengahnya aku menikmati sepotong singkong rebus, nenek bertanya.
Aku tidak menjawab langsung karena mulutku masih sibuk mengunyah satu gigitan singkong rebus yang menurutku sangat enak di lidah.
"Dewi Kirana Candramaya, Nek."
Nenek tersenyum, membuat garis-garis keriput di sekitar ujung matanya bermunculan. "Nama yang bagus. Sangat cocok untukmu."
Aku tersenyum tipis. Membahas perihal nama, aku jadi teringat percakapanku dengan eyang putri saat di pendopo depan rumah. Jawaban dari nenek sama persis dengan jawaban eyang putri sewaktu kutanyai.
"Kenapa sih, namaku Dewi Candra Kirana?"
"Karena itu cocok untuk kamu, Nduk."
Aku menghela napas berat. Aku sendiri malah tidak tahu apa arti namaku. Bukannya eyang putri yang tidak mau memberitahu, hanya saja aku enggan untuk membahasnya karena yang ada di pikiranku hanyalah satu, yakni nama itu sangatlah kuno.
"Kalau boleh tahu, makna namaku itu apa ya, Nek?" Aku berhenti makan untuk mendengar jawaban dari nenek. Kedua mataku terus menatap wanita tua yang duduk di dipan bersamaku. Kami sekarang ini duduk di pinggir dipan dengan kaki yang menapak di tanah karena dipan ini hanya memiliki tinggi sekitar satu meter.
Nenek lagi-lagi tersenyum. Mungkin merasa heran denganku yang tidak mengetahui arti dari namanya sendiri.
"Perempuan yang lembut dan murah hati seperti seorang dewi."
Aku terdiam untuk beberapa saat, sama sekali tidak menyangka jika namaku memiliki arti yang begitu indah. Sangat berbanding terbalik dengan sifatku yang jauh dari kedua hal tersebut.
"Terima kasih, Nek. Aku jadi bisa mengetahuinya." Membenarkan posisi duduk, aku menatap nenek lamat-lamat. "Kalau Nenek namanya siapa?"
"Lastri, Nak."
Aku mengangguk paham seraya tersenyum. Entah kenapa, setelah mengetahui nama satu sama lain seperti ini rasanya tidak begitu asing dan canggung.
Saat kembali asyik berbincang-bincang dengan nenek, suara tapakan kaki yang tengah menginjak tanah yang becek dari arah samping membuatku menoleh. Gerakan tanganku yang hendak mengambil satu potong singkong rebus seketika terhenti dan segera menatap nenek penuh tanya.
Tanpa kuduga, nenek tersenyum ke arah seorang laki-laki yang baru saja melangkah masuk ke beranda rumah, lalu menggantungkan sebuah caping yang basah ke kayu yang dapat dijadikan cantelan di salah satu pilar beranda rumah. Jika dilihat-lihat, dia memiliki postur tubuh yang hampir mirip dengan Hayam Wuruk, hanya saja kulitnya lebih sedikit gelap dari sang maharaja, serta punggung yang terlihat lebih kokoh.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta Untuk Sri Rajasanagara
Historical FictionDewi Kirana Candramaya, namanya. Gadis pindahan dari Jakarta yang sama sekali tidak menyukai pelajaran Sejarah, tiba-tiba muncul di masa kerajaan agraris terbesar di Nusantara, Kerajaan Majapahit. Kirana tidak percaya dengan adanya cinta. Namun, kep...