03. | Tenggelam

20.6K 2.8K 277
                                    

Multimed: kompas.com/ MUHAMMAD IRZAL ADIAKURNIA

***

"SANGAT indah, bukan?"

Aku tersentak dan segera menoleh ketika mendengar suara tersebut. Untung saja ponsel yang tengah kugenggam tidak terlempar ke tanah. Bisa-bisa hancur barang berharga milikku itu.

Setelah berbalik, kudapati seorang kakek tua dengan rambut pendek yang telah memutih. Beliau berdiri tepat di belakangku di saat aku belum membalik tubuh.

Menjawab pertanyaan dari kakek tersebut, aku hanya mengangguk sebagai pertanda setuju.

"Ini adalah salah satu peninggalan Kerajaan Majapahit." Kakek itu berkata seraya memandangi pucuk Candi Bajang Ratu. Kedua matanya yang meredup kini menyipit karena silau akan sinar matahari yang hampir tumbang di langit bagian barat.

"Majapahit?" Aku mengerutkan kening. Menatap heran ke arah kakek tua itu. "Majapahit" adalah kata yang tak lagi asing di telingaku, tetapi aku tak tahu seluk-beluk kerajaan itu. Ah iya, aku baru saja ingat, tadi saat pelajaran Sejarah aku disuruh Bu Gita untuk membacakan materi tentang kerajaan tersebut.

"Kau tidak tahu, Nak? Itu adalah kerajaan terbesar pada zaman dahulu di Nusantara. Didirikan oleh Raden Wijaya." Kakek tua itu bersikap tenang dan penuh dengan wibawa. Ekspresi wajahnya terlihat bersahabat.

"Pada masa pemerintahan Sri Rajasanagara, kehidupan Majapahit sangat makmur. Bisa dibilang, itu adalah masa keemasan Majapahit."

"Sri Rajasanagara?" Dahiku semakin terlipat dalam. Siapa lagi itu?

"Ah, tidak tahu rupanya. Itu adalah gelar raja ke empat Majapahit. Hayam Wuruk namanya," jelas kakek tua itu seraya tertawa pelan karena melihat raut bingungku.

Menggaruk pelipisku yang tak gatal, aku mencoba untuk memahami kalimat Kakek tadi. Nama julukannya sulit sekali untuk kucerna.

Ah, masa bodoh. Untuk apa kucerna? Itu tidak penting.

"Bagiku, sejarah tidak penting, Kek. Seharusnya seperti itu dilupakan, kita harus maju untuk masa depan, bukan mengingat masa lalu," timpalku yang langsung disanggah oleh Kaket tua itu. Beliau tampak tidak setuju, terlihat dari tatapannya. Mungkin di dalam hati dia merasa begitu kesal. Mungkin.

"Kau salah, Nak."

Aku hanya mengedikkan bahu tak peduli. Kedua mataku kemudian kembali memandangi relief-relief yang ada di Candi Bajang Ratu.

"Hayam Wuruk dinobatkan menjadi raja pada saat berumur enam belas tahun. Hebat, bukan?" Kakek tersebut tersenyum penuh arti. "Namun, umur tak mengukur kebijakan seseorang. Hayam wuruk merupakan raja muda yang bijaksana. Majapahit mencapai masa keemasan pada masa Baginda Rajasanagara. Beliau juga sangat memperhatikkan rakyatnya."

Menyentuh salah satu relief yang ada di Candi Bajang Ratu, Kakek itu berujar, "Beliau laksana angin masuk meresap ke semua tempat, menjaga negara seperti Pertiwi, sedangkan rupa beliau laksana bulan."

Kalimatnya begitu dalam dan sangat meresap di benakku. Aku menjadi penasaran seperti apa sosok Raja ke empat Majapahit itu.

"Kau tahu awal mula berdirinya kerajaan Majapahit, Nak?" Beliau menoleh ke arahku sembari meletakkan kedua tangan di belakang punggung.

Aku menggeleng. Sama sekali tidak tahu.

"Baiklah, biar kuberi tahu."

***


Aku mengeluh dalam hati. Hampir setengah jam kakek tua itu menjelaskan berbagai hal tentang Kerajaan Majapahit. Mulai dari masa pemerintahan Raden Wijaya, hingga menantunya Hayam Wuruk, yaitu Wikramawardhana.

Wah, aku menjadi hafal seluk-beluk Majapahit sekarang. Terima kasih, kakek.

Mendongakkan kepala, aku merasakan butir-butir air hujan mengenai rambutku. Yang benar saja? Perasaan tadi langitnya cerah, kenapa mendadak mendung? Bahkan suasana berubah seperti mau malam. Padahal, ini masih pukul setengah lima sore.

Berhenti bertanya-tanya dalam hati, aku mengedarkan pandangan. Hujan mulai menderas, dan aku tidak mendapati kakek tua tadi. Ke mana perginya? Kenapa cepat sekali?

Tak ingin pakaianku menjadi basah, dengan segera aku meninggalkan pelataran Candi Bajang Ratu. Untuk mempersingkat waktu, aku mempercepat langkah kaki menjadi berlari, tetapi percuma saja, kondisiku telah basah kuyup sekarang.

Aku mengumpat dalam hati. Walau hujan telah mengguyur, kenapa jalanan masih ramai, sih? Tentu hal itu membuatku kesulitan menyeberang karena para pengendara motor yang tidak mau mengalah.

Berdiri di tepi jalan, aku mendesis sebal. Kedua telapak tanganku kini terangkat untuk menahan air hujan supaya tidak mengenai mata.

Masih dalam keadaan menunggu, tiba-tiba saja terdengar suara guntur dan kilatan petir di langit yang membuatku sontak memejamkan mata dan terduduk ke tanah karena saking kagetnya. Itu adalah suara guntur terkeras yang pernah kudengar.

Dengan tubuh yang gemetar dan jantung yang berdetak tak karuan, aku buru-buru berlari beberapa meter mendekati sebuah gubuk kayu yang ada di tepi jalan. Kuputuskan untuk berteduh di sana sampai hujan mereda.

Setengah jam aku berdiri di sana seraya memeluk lengan, akhirnya hujan tak lagi deras, hanya menyisakan butir-butir air yang terbawa oleh angin, serta jalanan yang kini terdapat banyak kubangan yang berisi air hujan.

Mengusap wajahku yang basah, aku segera berlari untuk menyeberang jalanan yang ada di depanku.

Sebelum aku benar-benar menyeberang, kedua kakiku menginjak sebuah genangan besar yang ada di tepi jalan. Detik berikutnya, aku merasa jika tubuhku masuk ke dalam genangan air tersebut. Aku bahkan tidak sempat untuk berteriak karena terjadi begitu cepat.

Kemudian, kedua mataku terbelalak ketika melihat pemandangan di sekelilingku. Saat ini, aku tidak berada di tepi jalan, melainkan berada di dalam lautan!

Sebelum kehabisan napas, aku segera berenang ke atas, tepatnya ke lubang bercahaya terang yang ada di permukaan.

***


Untuk part ini, pasti ada yang udah kesel sama Kirana

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Untuk part ini, pasti ada yang udah kesel sama Kirana. Hayo ngaku!😂

Selasa, 19 Januari 2021

Cinta Untuk Sri RajasanagaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang